Sistem perpajakan di Indonesia adalah sistem "Self Assessment" yang dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung, memungut dan melaporkan pajaknya sendiri. Wajib Pajak dapat melakukan mandiri perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dasar Hukum Penerapan Self Assessment Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan No. 6 Tahun 1983, yang telah disempurnakan pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2009. Dalam Pasal 12 ayat (1) UU KUP yang menyebutkan bahwa "Setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak."
Self Assessment sebagai sistem pemungutan Pajak di Indonesia ada kelebihan dan kekurangan juga dalam sistem tersebut. Wajib Pajak merasa dapat kepercayaan dari Pemerintah atas kewajiban yang dilakukannya, tetapi ternyata mendapatkan kepercayaan tersebut bisa dikatakan menjadi kelemahan yang dimana perlu di uji atas kepercayaan yang diberikan yaitu melalui pemeriksaan Pajak. Apakah sistem Self Assessment masih layak diterapkan di Indonesia, sedangkan sistem tersebut dianggap menjadi celah atau kesempatan besar Pemerintah untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak ?
Tujuan dari Pemeriksaan Pajak adalah untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Laporan yang terbentuk dari sistem Self Assessment Wajib Pajak adalah hasil pemikiran Wajib Pajak yang dituangkan menjadi tulisan yaitu pada SPT Pajak. Sedangkan, Pemeriksa akan menganalisa tulisan (laporan SPT Pajak) kedalam pemikiran Pemeriksa Pajak, tentu dua pemikiran tersebut menjadi gap dalam proses pemeriksaan pajak.
Diskursus dan Kritik KRITERIA PEMERIKSAAN pada PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 184 /PMK.03/2015 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN.
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 184 / PMK.03 / 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 17 / PMK. 03/ 2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN.
Tujuan, untuk lebih mengoptimalkan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Pada Pasal 4 tentang kriteria menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan pada ayat 1(d) Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. menurut pendapat saya dengan adanya pengembalian pendahuluan yang diberikan kepada Wajib Pajak artinya Pemerintah sudah sepakat atau mempercayai dengan apa yang sudah dilaporkan oleh Wajib Pajak tetapi kembali lagi kepercayaan tersebut diuji kembali Pemerintah melalui Pemeriksaan, bukankah menjadi tidak sesuai dengan tujuan sistem Self Assessment ?
Begitu juga dengan ayat 1(e) Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi. Dalam pasal tersebut kurang jelas kriteria pernyataan rugi, seperti berapa tahun Wajib Pajak mengalami kerugian dalam usahanya. Kriteria tersebut ada dalam peraturan PMK seperti membuat ancaman kepada Wajib Pajak jikalau rugi pasti akan masuk ke proses pemeriksaan, sehingga Wajib Pajak menghindarinya dengan menghitung dan melaporkan tidak sesuai kondisi usahanya. Apakah kriteria tersebut sesuai dengan sistem perpajakan di Indonesia ini, yaitu Self Assessment ?
Dan juga pada ayat 1(h) Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko. Mekanisme alur pemeriksaan pajak dimulai dari adanya Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), dimana data dan/atau keterangan tersebut diminta oleh DJP karena diduga adanya pemenuhan kewajiban yang belum sesuai dengan ketentuan perpajakan.
Permasalahan yang sering dialami Wajib Pajak belum menerima surat SP2DK tersebut, sepertivWajib Pajak pindah tempat usaha, dokumen tersebut hilang saat sampai di lokasi atau dikirimkan. Pemerintah perlu mencantumkan lebih detail lagi kriteria SP2DK dan juga bagaimana cara bahwa SP2DK bisa diterima oleh Wajib Pajak, contohnya melalui akun DJP masing-masing Wajib Pajak.