Keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan kondisi handicap akan menghadapi tantangan dalam hal manajemen waktu keluarga serta kesejahteraan keluarga. Kondisi handicap seseorang dalam suatu keluarga dapat memengaruhi kehidupan keluarga secara menyeluruh, mulai dari aspek fisik, emosional, finansial serta emosional. Salah satu tantangan terbesarnya adalah pembagian waktu antara urusan pekerjaan dan keluarga. Pembagian peran dalam mengurus anggota keluarga dengan kondisi handicap juga menjadi perdebatan antar anggota keluarga lainnya. Pandangan masyarakat di lingkungan sekitar keluarga dengan anggota handicap yang mungkin buruk dapat membuat keluarga handicap akan merasa terkucilkan. Karenanya, dibutuhkan peran manajemen waktu dan manajemen keluarga dalam merawat anggota keluarga yang handicap di perkotaaan.
Manajemen Sumber Daya Keluarga dan Manajemen Waktu
Sumber daya keluarga dipengaruhi dari keluarga itu sendiri (internal) atau dari lingkungan luar (eksternal). Keduanya dapat mendorong maupun menghambat pencapaian tujuan keluarga. Sumber daya dapat mempengaruhi sumber daya lainnya apabila mengalami perubahan. Oleh karena itu, ada keterkaitan antara sumber daya sehingga kita perlu hati-hati dalam memanajemennya. Terdapat beberapa atribut yang berpengaruh terhadap manajemen sumberdaya keluarga di antara lain status sosial ekonomi, pola bekerja anggota keluarga, tahapan kehidupan keluarga, dan komunikasi. Manajemen waktu adalah suatu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan controlling (pengawasan) produktivitas waktu. Sebab waktu menjadi salah satu sumber daya untuk melakukan pekerjaan, dan merupakan sumber daya yang harus dikelola secara efektif dan efisien. Manajemen waktu yang baik yaitu dengan membuat data pekerjaan atau aktivitas dan menentukan skala dari setiap aktivitas tersebut. Manajemen waktu memiliki peranan yang sangat penting serta berharga karena waktu tidak akan bisa untuk terulang kembali.
Handicap
Handicap adalah ketidakmampuan seseorang dalam menjalankan peran sosial-ekonominya sebagai akibat dari kerusakan fisiologis dan psikologis baik karena sebab abnormalitas fungsi maupun disabilitas. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta orang pada tahun 2022. Penyandang disabilitas merupakan kelompok yang paling sering menerima perlakuan diskriminasi dan hak-haknya yang tidak dipenuhi. Paradigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas seringkali diibaratkan sebagai ketidakmampuan seseorang secara fisik sehingga sering dianggap sebagai orang sakit yang selalu membutuhkan pertolongan dan bantuan orang lain. Pada interaksi sosial di masyarakat, para penyandang disabilitas sering mengalami tekanan negatif dari masyarakat di sekitarnya. Jenis penyandang disabilitas terbagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok kelainan secara fisik (tunanetra, tunadaksa, tunarungu), kelompok kelainan secara non-fisik (tunagrahita, autis, hiperaktif), dan kelompok kelainan ganda yaitu mereka yang mengalami kelainan lebih dari satu jenis kelainan.
Manajemen Sumber Daya Keluarga dan Manajemen Waktu Pada Keluarga Handicap di Perkotaan
Kompetensi yang harus dimiliki anggota keluarga yang menjadi pendamping anggota keluarganya handicap yaitu mencakup 3 aspek. Pertama, pengetahuan tentang cara merawat penyandang disabilitas yang baik. Kedua, keterampilan berkaitan kemampuan merawat handicap secara fisik dengan baik dan kemampuan membesarkan hati handicap dengan terus memberikan motivasi. Ketiga, sikap dan nilai (attitude and value) kesabaran dan keikhlasan.
Dalam merawat anggota keluarganya yang handicap dapat dengan cara yang beragam seperti menemani dan meluangkan waktu untuk berkomunikasi agar tidak kesepian serta memenuhi segala kebutuhannya. Selain itu, terdapat beberapa cara agar anggota keluarga handicap juga dapat tetap produktif dalam menjalani kehidupannya, di antaranya yaitu dengan menyekolahkan ke Sekolah Luar Biasa (SLB) ataupun dengan tetap menyekolahkannya pada sekolah umum. Selanjutnya untuk mendukung bakat dan minatnya dapat dilakukan dengan mendaftarkannya ke tempat les, misalnya les kursus pijat agar dapat memiliki penghasilan sendiri, atau les modelling dengan harapan anggota handicap tersebut bisa berkembang dalam bidang itu dan bisa lebih dikenal banyak orang walaupun memiliki kekurangan fisik.
Dalam menjalani kehidupan, tentunya handicap sering mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan dalam lingkungannya. Anggota keluarga yang merawatnya juga tentunya khawatir terhadap keamanan anggota keluarga handicap tersebut. Kekhawatiran tersebut yaitu berupa takut jika mereka yang handicap tidak bisa diterima dalam lingkungannya sehingga akan menghambat sosialisasi dan kondisi mentalnya. Maka dari itu untuk memastikan keamanan anggota keluarganya yang handicap adalah dengan cara tidak membiarkannya pergi sendirian saat berada di lingkungan baru dan selalu menjaga komunikasi terhadap mereka terkait kondisinya saat di luar. Dalam merawat anggota keluarga handicap tentunya akan muncul tantangan seperti rasa lelah sehingga diperlukan kesabaran yang lebih tinggi lagi dan jangan menganggap hal tersebut merupakan beban yang berat..
Upaya dalam memberdayakan penyandang disabilitas tentu menjadi salah satu program pemerintah. Namun, masih banyak yang belum tahu dan merasakan manfaat program tersebut. Salah satu programnya yaitu membukakan usaha mikro bagi penyandang disabilitas. Namun, tidak ada pembinaan lanjutan dari pemberi program sehingga usaha tersebut juga tidak dapat bertahan lama. Padahal sudah terdapat UU No.19/2011 tentang Tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yang telah menyempurnakan undang-undang sebelumnya yaitu UU No.4/1997 yang dianggap masih memandang penyandang disabilitas berdasarkan pada belas kasihan dan belum memberikan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas. Pemerintah seharusnya turut serta berperan aktif dalam pemberdayaan penyandang disabilitas dalam peningkatan soft skill. Program yang sudah digalakkan di beberapa daerah mungkin perlu dikembangkan lagi agar menjadi program kerja nasional yang mampu mencakup sasaran lebih luas merata.
Kesimpulan