Lihat ke Halaman Asli

Asep Sumpena

Suka mengamati

[Fiksi Kuliner] Secangkir Kopi Karuhun

Diperbarui: 6 Juni 2016   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karya Asep Sumpena No. 24

Garut, suatu malam Jumat di tahun 1975.

Aroma kemenyan menyeruak dari arah belakang rumah, bau harum sepekan sekali yang tidak asing ini menghadirkan suasana mistis dan ribuan de javu berkelebatan, rasanya dunia terdiam beberapa saat menenggelamkanku ke dalam keterasingan yang aneh.

Asap aromatik dari getah tumbuhan genus Boswellia ini menuntunku untuk berjalan ke bagian belakang rumah panggung itu. Dengan mengendap-endap kuikuti sumber asap wangi tadi, di pojok dapur terlihat ada celah pintu terbuka sedikit yang menyemburatkan gabungan cahaya temaram dan asap bergumpal-gumpal.

Aku berusaha dengan keras agar tubuh ini seringan kapas, supaya langkah-langkahku tidak menghasilkan derit yang sedih dari lantai palupuh bambu ini. Dari celah berasap yang sekarang nampak semakin pekat itu, kupicingkan mataku supaya lebih jelas melihat ke arah dalam. Nampak Bunda duduk tepekur berkomat-kamit merapal doa-doa.  Karena terhalang oleh punggungnya, aku tidak bisa melihat apa yang terdapat di hadapan beliau, hanya asap yang membumbung dan ketemaraman yang bias.

Karena rasa penasaran bocah laki-laki, aku bersembunyi di seberang pintu itu dibalik gundukan berkas-berkas ikatan padi ketan yang belum ditumbuk. Aku menahan nafas dan menunggu Bunda selesai dengan ritualnya.

Ketika pintu itu terbuka dan Bunda meninggalkan goah tempat menyimpan beras itu, menuju ke ruang depan. Aku melangkah dengan pelan dan memasuki ruang itu. Nampak parupuyan tanah liat berisi bara dari kulit buah kelapa, ditengahnya segumpal kecil kemenyan mendidih dan mengeluarkan asap membumbung. Di sekitar ada senampan sesajian dan secangkir kopi hitam.

Kucomot salah satu sajian, berupa potongan melintang pisang mas yang dibaluri oleh irisan gula aren, ku nikmati pelan-pelan sungguh manis dan legit. Ada rasa kagum yang terpancar kepada para karuhun atas sajian makanan yang enak ini. Lalu kucecap gelas kopinya dan rasanya pahit! Saat itu, aku tidak mengerti mengapa para karuhun menyukai kopi tanpa gula. Sepengatahuan kami sesajian adalah makanan dan minuman kesukaan karuhun di masa hidupnya, disajikan dengan doa sebagai penghormatan.

***

Batam, menjelang Imlek di tahun 2016.

Dalam rintik hujan yang menurunkan suhu udara dari kegerahan total ke tingkat nyaman untuk makhluk berjenis manusia, aku duduk menatap dedaunan yang ceria ditimpa air hujan. Ditemani secangkir kopi hitam dari Toko Ek Bouw Garut, kiriman dari adik kemarin, dan tergolek pasrah beberapa potong pisang goreng.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline