Lihat ke Halaman Asli

Asep Sumpena

Suka mengamati

[Fiksi Fantasi] Akhir Kisah BUMN

Diperbarui: 16 Juli 2015   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dok. upsbatterycenter.com"][/caption]

Oleh : Asep Sumpena, No. 87.

“Kang Asep, masih ingat batu hantu di makam Kampung Kaler?”

Suatu pagi, muncul message di facebook saya dari Dadang teman semasa sekolah dasar di kampung dulu. Agak jarang kami berkomunikasi lewat message facebook kecuali saat mengucapkan selamat ulang tahun atau selamat hari lebaran. Namun pesan pagi itu cukup aneh. Batu hantu? Kampung Kaler?

Kucoba menyusun kembali lembaran-lembaran memori yang sudah dilipat puluhan tahun lamanya. Dulu sewaktu masih sekolah dasar, saya, Dadang dan Ayut almarhum duduk dalam kelas yang sama dan rumah kami juga berdekatan. Dadang memelihara domba, Ayut memelihara kambing sedangkan saya memelihara kelinci dan marmut. Tiba-tiba ketika teringat Ayut yang sudah almarhum? Pikiran saya pun jadi terang kembali dan memori terbuka, ya aku ingat dengan jelas tentang kisah batu hantu di Kampung Kaler.

***

Suatu siang di penghujung tahun 1980, walau angin bertiup sepoi-sepoi namun langit sangat cerah dan udara cukup panas. Sawah-sawah baru dipanen dan rumput yang akan kami cari mulai menghilang terinjak barisan bebek yang semangat mencari cacing di tanah sawah yang masih basah. Bertiga kami menjauhi kampung dan menuju tempat yang di sebut Kampung Kaler, bukan kampung sebenarnya namun komplek pemakaman tua yang sering diziarahi penduduk yang mau mencari berkah. Ada satu makam keramat yang disebut makam Eyang Bagus dikelilingi tembok batu bata, diplester kasar dan dilabur cat putih.

Di bagian utara berbatasan dengan sawah. Di sanalah biasanya masih tersisa gumpalan rumput yang tebal dan hijau. Saat Dadang mulai ngarit kumpulan rumput tersebut, tiba-tiba ujung sabitnya menyentuh benda keras…ting! Ayut segera menyibakkan rumput dan tampak dua buah batu pipih putih seperti campuran kapur dan marmer, dan satu sama lain lengket. Dadang mengambilnya dan mencoba melepas batu yang lengket tadi, namun tidak bisa. Saya mencoba membukanya dengan cara menggesernya ke samping. Ternyata bisa lepas.

Ayut dengan semangat mengambill batu itu dan melihat permukaannya yang licin dan putih sambil berseru di dekat permukaannya.

“Batu apa ini…?” Lalu seperti magnet batu tadi menempel kembali satu sama lain. Ayut menyerahkan kembali batu itu ke saya.

Saya kembali menggeser batu tersebut dan tiba-tiba ada suara.

“Bhathuu aphaa inhii…” Kami semua terhenyak kaget, ternyata suara itu berasal dari batu yang saya pegang, batu mengeluarkan suara dan seperti merekam suara Ayut tadi. Dadang tergesa mengambil batunya dan menyimpan kembali di sela-sela tembok makam itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline