Lihat ke Halaman Asli

Asep Sulaeman

Akuntan-Mahasiswa Magister Akuntansi, Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si.Ak

Tarik Ulur Penerapan Perpajakan pada Transaksi E-commerce

Diperbarui: 18 November 2021   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

TB2 PAJAK KONTEMPORER_ASEP SULAEMAN_55520120040: Tarik Ulur Penerapan Perpajakan pada Transaksi E-Commerce

Era digital seperti sekarang ini, peran teknologi sangat penting untuk mendukung aktivitas manusia. Internet digunakan utk berbagai keperluan seperti, mencari informasi berbelanja via online dan lain lain. 

Berbicara tentang belanja online, semenjak Februari 2020 hingga saat ini, Indonesia dilanda pandemi virus covid-19, masyarakat cenderung memilih berbelanja secara online untuk melengkapi kebutuhan harian mereka. Belanja online merupakan cara tepat untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari selama di rumah, sehingga dapat menghindari risiko penularan Covid-19.

Dengan adanya kemudahan akses internet ini bermunculan toko--toko daring atau yang lebih umum disebut online shop. Dengan semakin maraknya pemakai internet tentu berpengaruh terhadap peningkatan jumlah perdagangan pada gilirannya memunculkan problematika di bidang perpajakan, yaitu tentang bagaimana menerapkan pajak untuk bisnis yang berbasis online.

Dalam kebijakan perdagangan online atau e-commerce sudah mulai dilakukan pada tahun 2013 melalui Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 62 tahun 2013 tentang penegasan ketentuan perpajakan atas transaksi e-commerce . 

Sayangnya dalam surat edaran tersebut belum diatur secara komprehensif tentang transaksi perdagangan secara online bagaimana teknis pemungutan, pelaporan, surat edaran tersebut hanya menegaskan bahwa atas transaksi e-commerce sama dengan transksi bisnis konvensional karena hanya mereferensi Undang-Undang. 

Pada akhirnya penerapan mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) pada sistem perdagangan online atau e-commerce bisa dikatakan tidak terlaksana.

Setelah pertumbuhan transaksi e-commerce berkembang dengan pesat, pemerintah mengeluarkan peraturan menteri keuangan No 210/PMK.010/2018. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa para pebisnis digital diharuskan memenuhi aturan tentang pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. 

Namun pada 29 Maret 2019 melalui website kemenkeu.go.id menteri keuangan Sri Mulyani membatalkan peraturan nomor 210 tahun 2018 dan kemudian mengeluarkan PMK 32 PMK.010/2019. Dengan demikian, pebisnis yang memiliki omzet hingga Rp4.800.000.000,- dikenakan tarif sebesar setengah persen (0.5%) atas omzetnya, tarif ini sama dengan pebisnis UMKM secara konvensional.

Atas tarik ulur penerapan perpajakan pada transaksi e-commerce pemerintah belum dapat memetakan cara efektif dan tepat atas potensi perpajakan transaki e-commerce. 

Dengan kata lain pihak  Dirjen Jenderal Pajak  kesulitan  dalam memisahkan pajak e-commerce itu. Alasannya, sebagian besar e-commerce yang telah menyetor pajak merupakan perusahaan perdagangan yang menjalankan bisnis secara fisik (offline) dan non fisik (online) secara bersamaan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline