Lihat ke Halaman Asli

Asep Setiawan

Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Teori Kebahagiaan Integral

Diperbarui: 25 Januari 2025   09:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Teori Kebahagiaan Integral: Pendekatan Holistik untuk Memaknai Kebahagiaan di Era Kompleksitas Modern

Abstrak

Kebahagiaan telah menjadi topik kajian utama dalam filsafat, agama, dan psikologi sejak zaman kuno, tetapi paradigma klasik sering kali bersifat mono-dimensional dan kurang relevan dengan tantangan kehidupan modern yang kompleks. Artikel ini mengusulkan teori kebahagiaan integral, sebuah pendekatan holistik yang mengintegrasikan berbagai elemen: harmoni proses, kebermaknaan, penerimaan, kebersyukuran aktif, kebebasan dari keterikatan, dan ketahanan mental. Dengan mengkritisi panduan klasik seperti hedonisme, eudaimonia, stoikisme, dan ajaran religius tradisional, teori ini menawarkan model yang lebih fleksibel dan relevan untuk individu yang hidup dalam era tekanan kerja, konektivitas teknologi, dan krisis ekologis. Validasi filosofis, empiris, dan spiritual menunjukkan bahwa teori ini tidak hanya koheren secara logis, tetapi juga konsisten dengan penelitian psikologi modern dan nilai-nilai spiritual universal. Teori kebahagiaan integral memberikan landasan baru yang menjembatani tradisi klasik dengan kebutuhan manusia modern, menciptakan pendekatan yang tidak hanya adaptif tetapi juga berkelanjutan.

Pendahuluan

Latar Belakang

Kebahagiaan telah menjadi salah satu tema utama dalam filsafat, agama, dan psikologi sepanjang sejarah manusia. Beragam pendekatan klasik telah diajukan untuk memahami dan meraih kebahagiaan, mulai dari hedonisme yang menekankan pencapaian kenikmatan, eudaimonia dalam pemikiran Aristotelian yang berfokus pada kebajikan dan aktualisasi diri, hingga ajaran religius yang memandang kebahagiaan sebagai hasil dari kepatuhan terhadap nilai-nilai spiritual. Meski menawarkan wawasan yang berharga, paradigma klasik ini sering kali bersifat mono-dimensional dan kurang memperhitungkan kompleksitas kehidupan modern.

Di era modern, kehidupan manusia dihadapkan pada dinamika baru yang melibatkan tekanan pekerjaan, konektivitas teknologi yang terus-menerus, ketidakpastian ekonomi, dan krisis lingkungan global. Kompleksitas ini menghasilkan fenomena psikososial seperti stres kronis, alienasi, dan krisis makna yang sering kali tidak dapat dijawab secara memadai oleh panduan klasik yang cenderung berfokus pada satu elemen kebahagiaan. Selain itu, kecenderungan masyarakat modern untuk mengejar kebahagiaan melalui konsumsi material atau kesuksesan individual sering kali menghasilkan paradoks, dimana pencapaian kebahagiaan justru memicu tuntutan baru yang meningkatkan beban penderitaan.

Rumusan Masalah

Paradigma klasik kebahagiaan menghadapi keterbatasan dalam menjawab tantangan kehidupan modern karena beberapa alasan:

1. Sifat Mono-Dimensional: Fokus tunggal pada kenikmatan, kebajikan, atau pelepasan keinginan membuat pendekatan klasik tidak cukup fleksibel untuk mengakomodasi berbagai dimensi kehidupan manusia yang saling terhubung.

2. Minimnya Integrasi dengan Realitas Modern: Banyak panduan klasik tidak relevan dengan konteks modern seperti peran teknologi, tekanan kerja yang kompetitif, dan globalisasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline