Lihat ke Halaman Asli

Asep Setiawan

Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Ketidakpuasan vs. Ridho: Duel Abadi yang Menentukan Takdir Sejarah Peradaban

Diperbarui: 11 Januari 2025   15:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketidakpuasan vs. Ridho: Duel Abadi yang Menentukan Takdir Sejarah Peradaban

Es Dogger Pasar Lama Tangerang 

Hujan turun tak henti sejak subuh, merembes masuk ke setiap celah di Pasar Lama, Tangerang. Jalanan yang biasanya berisik dengan suara pedagang, pembeli, dan kendaraan berlalu-lalang kini sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru melintasi trotoar. Pasar yang biasanya penuh warna kini seolah berubah menjadi kota mati, tertutup oleh mendung yang menekan langit.

Di depan Toko Penguin, sebuah toko komputer yang biasanya ramai dengan pengunjung yang datang untuk membeli laptop atau aksesoris komputer, seorang tukang es doger berdiri termangu. Payung lusuh yang ia bawa tampak seperti pertahanan terakhir dari hujan deras yang mengguyur tubuhnya. Di atas gerobak kayu yang sudah mulai lapuk, bahan-bahan es doger di dalam barisan toples masih utuh tak tersentuh. Hanya ada air hujan yang menetes di atas payung, seolah ikut merasakan kegelisahan yang membelenggu hati tukang es doger.

"Kenapa harus begini?" Suara hati itu bergema dalam pikirannya. Ia menatap toko kosong di seberang, Toko Penguin yang sepi. Biasanya, di saat seperti ini, antrean pembeli mengular hingga ke jalan. Dia terbiasa dengan wajah-wajah ceria para pelanggan mencicipi es doger yang dingin dan nikmat buatannya. Tapi tidak hari ini. Hujan, seakan menambahkan beban berat pada pundaknya yang sudah penuh dengan masalah.

Pikirannya melayang, mengingatkan pada segala utang yang terus menunggu. "SPP anak sudah jatuh tempo... Tadi subuh, token listrik menjerit minta diisi... MakNyak pemilik kontrakan sudah berkali-kali ngomel, sewa tiga bulan belum juga dibayar." Wajahnya memucat. Semua masalah itu berputar dalam pikirannya, seperti lingkaran tak berujung yang tak bisa ia hindari. Setiap detik yang berlalu, beban itu semakin terasa, seolah menggulung dirinya ke dalam pusaran kegalauan.

Di sela-sela kekalutan itu, ada perasaan yang semakin menggerogoti hatinya: "Apa benar ini takdir? Menjadi tukang es doger sepanjang hidup? Apa yang salah dengan diriku?" Dia menatap langit yang gelap dan basah, seakan berharap ada jawaban. "Apakah ini yang harus aku jalani? Apakah takdirku memang hanya sampai di sini, berjualan es di pinggir jalan, menunggu pembeli yang tak datang?"

Rasa tidak puas itu menggelegak dalam dirinya. Setiap tetes hujan yang jatuh terasa seperti ejekan terhadap impian yang tak pernah tercapai. Bukankah ia pernah bermimpi menjadi lebih dari sekadar tukang es doger? Bukankah ia ingin suatu hari mengubah nasib, mengubah kehidupan keluarganya, memberi anaknya pendidikan yang layak tanpa harus khawatir tentang tagihan yang belum dibayar? Namun kenyataannya, ia terjebak dalam siklus yang sama, terperangkap dalam ketidakpastian dan kekecewaan.

"Apa yang kurang dariku? Aku sudah berusaha, aku sudah berjuang, tapi kenapa tak ada perubahan? Kenapa takdir seperti ini menimpaku?" Pikirannya semakin kacau, dipenuhi pertanyaan yang tak pernah menemukan jawaban. Ia merasa terperangkap dalam takdir yang kelam, dalam kesunyian hujan yang seakan mencerminkan keadaan hatinya.

Lalu, seorang wanita yang mengenakan jas hujan pink berjalan perlahan menuju gerobak es doger. Hujan tak menghalangi langkahnya, dan meskipun wajahnya tertutup oleh pelindung hujan, gerakan tubuhnya tampak penuh ketenangan. Dia berhenti di depan gerobak, menatap es doger yang masih utuh, lalu berkata, "Satu saja, Pak."

Tukang es doger itu menatap wanita tersebut, sejenak terdiam. Hanya satu? Hanya satu es doger yang terjual? Itulah yang tersisa dari seluruh usahanya hari ini. Namun, ada sesuatu dalam tatapan wanita itu yang membuat hatinya sedikit tenang. Apakah itu bentuk penerimaan? Mungkin, meskipun hanya sedikit, ada ruang untuk merasakan bahwa hidup masih bisa terus berjalan, meskipun pelan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline