Indonesia tidak ikut serta dalam perlombaan dalam sains dan teknologi di bidang energi fusi nuklir, komputer kuantum, internet kuantum, carbon capture, plastic reducing, ekplorasi mars dan bulan, dan pencarian dark matter dan dark energy, jangan sampai kita juga tidak ikut serta dalam riset dan teknologi synbio .
Membantah Malthus
Maltus menyatakan bahwa populasi manusia tumbuh dengan deret ukur, sementara produksi pangan tumbuh dengan deret hitung. Pendapat Malthus ini yang menjadi dasar dari Hukum Marjin Hasil Yang Semakin Menurun. Marjin hasil yang semakin menurun didapat dengan menghitung produktivitas lahan pertanian per kapita seiring waktu.
Tapi kemudian manusia melakukan antisipasi dengan berusaha agar produktivitas pangan tumbuh dengan deret ukur. Bagaimana caranya? Dengan Revolusi Hijau 1.0. Sehingga hasilnya meskipun populasi meningkat lebih dari dua kali lipat, produksi tanaman serealia meningkat tiga kali lipat selama periode Revolusi Hijau 1.0 ini, dengan hanya peningkatan 30% pada luas lahan yang dibudidayakan. Prediksi mengerikan tentang kelaparan Malthus dibantah, dan sebagian besar negara berkembang mampu mengatasi defisit makanan kronisnya. Afrika Sub-Sahara terus menjadi pengecualian terhadap tren global ini.
Revolusi Hijau 1.0 menggunakan pupuk dan pestisida sebagai kekuatan utama, di samping benih unggul, tata kelola lahan, dan penggunaan mesin.
Pendekatan Revolusi Hijau 1.0 ini masih menjadi mindset kita di Indonesia. Pikiran kita masih bertahan pada logika jebakan politik pangan dan praktek kampanye populis sejumlah oknum. Kita tidak memiliki solusi strategis holistik dan mindset kita baru sampai titik ini ketika bicara soal ketahanan pangan, revolusi hijau, ataupun produktivitas padi.
Sekarang sedang didorong Revolusi Hijau 2.0 dengan memanfaatkan teknologi CRISPR dan PCR. Kedua teknologi tersebut bukan saja memungkinkan komoditas pangan diproduksi secara eksponensial, juga menjadikan komoditas pangan bisa dihasilkan di dalam reaktor dalam pabrik-pabrik.
Synbio, Biotech, dan Genesis menjadi idiom yang lazim dalam Revolusi Hijau 2.0. Ketiga idiom itu sering digunakan secara tumpang tindih dan saling menggantikan. Intinya adalah menggunakan kekuatan biologi untuk industri, ekonomi, ekologi, dan demografi.
Struktur Ekonomi Indonesia
Secara umum struktur ekonomi Indonesia telah bergeser dari sektor primer di bidang pertanian dan pertambangan kepada sektor sekunder berupa industri dan distribusi, serta sektor tersier berupa jasa, keuangan, dan pariwisata. Tapi pada saat yang sama struktur impor Indonesia selain didominasi oleh bahan baku dan bahan modal, juga oleh komoditas pangan berupa buah, sayur, dan sejumlah sembako. Ini berarti Indonesia mengalihkan kecukupan pangannya dari swasembada kepada impor. Padahal nilai ekonomi dari Synbio (Syntetic Biology), Biotech (Biotechnology), dan Genesis (Genetic Engineering) terus meningkat. Pada saat yang sama ancaman krisis pangan dan krisis energi semakin nyata.
Indonesia secara ekonomi terjebak ironi. Sekian lama berjuang menjadi negara industri tidak pernah dicapai, sementara status sebagai negara agraris dan maritim ditinggalkan.