Lihat ke Halaman Asli

Asep Setiawan

Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Bagaimana Aku Belajar Menyukai Sambal

Diperbarui: 6 Maret 2022   04:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Ketika aku katakan, "Aku tidak suka bola". Teman-temanku menatapku dengan ekspresi heran, kemudian tertawa ngakak. "Semua lelaki suka bola", kata mereka.

Ketika hal yang sama aku katakan kepada teman-teman perempuan, keheranannya lebih ekspresif lagi, lalu mereka berderai cekikikan. Mereka biasanya lanjut dengan bertanya, "Tapi kalo main bola bisa kan?. Aku jawab dengan pertanyaan balik, "Main bola yang mana dulu nih? Kalo main bola yang itu mah, boleh dicoba deh. Mau cuma adu penalti atau main full game juga ayo deh. Tapi resiko ditanggung penumpang". Tawa mereka semakin keras.

Pernah sih aku ikutan nobar bareng keluarga besar ataupun teman-teman, tapi aku hanya menikmati momen golnya aja, tidak peduli siapapun yang memasukkan gol. Itu sering membuat para pendukung masing-masing kubu dongkol dan nyolot. Selain momen gol itu, aku lebih banyak tidur dan baru terbangun jika ada suara gaduh euforia gol.

Hal yang sama terjadi ketika aku katakan, "Aku tidak suka sambal". Biasanya orang-orang balik bertanya, "Kenapa?". "Pedas", jawabku. Jawaban itu malah menambah ekspresi heran mereka semakin menjadi. Tapi mereka tidak tertawa kali ini.

Sambal selalu membuat lidahku terasa terbakar. Keringat mengucur deras, dan yang paling menyebalkan adalah kepalaku bisa tiba-tiba sangat gatal.

Tapi penderitaan terbesar adalah momen ketika ada orang yang menggoreng cabai untuk membuat sambal. Baunya bukan saja membuat mataku perih, tapi juga membuat hidungku gatal dan bersin-bersin hampir tanpa henti. Sungguh momen yang sangat menyiksa.

Tapi akhirnya aku belajar juga untuk menyukai sambal. Ini terjadi ketika aku dekat dengan seorang perempuan. Dia biasa menggoda aku dengan meletakkan sedikit sambal di pinggir bibir, di dada yang terbuka, di perut yang rata, di pusar yang dalam, dan paha yang sebening embun. Dia berkata, "Beneran ga suka sambel nih...." sambil tersenyum. Jika sudah begitu, aku menyerah kalah. Aku lumat habis sambal yang ada. Momen itu selalu berakhir dengan berkeringat. Lebih berkeringat dari biasanya.

Lama-lama aku rasa sambal itu memang nikmat sesungguhnya. Tidak cuma ada rasa cabai, tapi juga ada rasa bumbu yang lain seperti bawang merah, bawang putih, dan entah apa. Makanan apa saja jika ditambahkan sambal memang jadi lebih nikmat rasanya. Nafsu makan pun bertambah. Aku mulai mencoba menambahkan sambal pada saat makan. Tapi dengan porsi tidak seperti orang-orang. Hanya sedikit saja, paling hanya seujung kelingking tangan. Itupun dengan ejekan dari orang-orang. "Cemen", kata mereka.

Porsi itu, seujung kelingking tangan, aku ingat baik-baik porsi itu. Porsi yang biasa diletakkan di puncak dada yang tinggi. Porsi yang aku kira panas dan pedasnya juga masih sanggup dia tahan. Tapi itu juga dugaan aku saja. Aku tidak pernah bertanya. 

Aku tetap tidak suka sambal sampai sekarang. Tapi aku sudah jauh lebih toleran. Walaupun penderitaanku ketika makan sambal tetap sama. Lidah terasa terbakar, berkeringat, dan kepala gatal-gatal. Juga masih bersin-bersin jika mencium bau cabai digoreng.

Toleransi kan tidak harus berarti kita suka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline