Di siang bolong, langit tiba-tiba berubah drastis. Bumi yang sudah lama menanti dibasahi dengan hujan deras yang turun tanpa aba-aba. Rasa panas dan panas yang melanda hilang seketika dan digantikan dengan sensasi dingin yang menyegarkan.
Hujan ini seperti anugerah bagi Pak Sukiman, petani cabai yang menumpang di kebun sawit. Sekarang dia tidak perlu repot-repot menyiram tanamannya setiap sore. Tanaman cabai sudah basah oleh banyak air hujan, yang membuatnya lebih segar dan subur.
Tanaman-tanaman di sekitar rumah Akang juga tampak sumringah. Setelah kekurangan air, daun kembali hijau dan segar. Seolah-olah mereka ingin menyambut hujan dengan gembira.
Bagi Akang, penduduk desa Nusamakmur, hujan adalah sumber air utama selain membawa kesejukan. Sejak lama, Akang dan warga desa lainnya bergantung pada air hujan untuk mandi, cuci, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Saat hujan turun, Akang segera menuju tempat penampungan air hujan, yang terdiri dari tiga buah "toren". Setelah ketiga toren penuh, Akang membuka keran dan menampung air di wadah yang sudah disiapkan. Setelah lima belas menit, semua wadah terisi penuh. Kemudian, Akang beralih ke tempat penampungan air di depan rumah, seperti bak dan drum, dan memastikan semuanya terisi penuh.
Warga Desa Nusamakmur, yang sudah mulai kekurangan air, melihat hujan ini sebagai berkah. Wajah mereka menunjukkan rasa terima kasih. Tak heran mereka selalu mengucapkan doa "Alloohumma Shoyyiban naafi'an", yang berarti "Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat pada kami."
Di siang bolong ini, hujan adalah pengingat bahwa alam selalu memiliki cara unik untuk menyeimbangkan kehidupan. Selalu ada hujan yang siap membawa kehidupan dan kesegaran di balik panas matahari. Selain itu, bagi manusia, hujan adalah pengingat untuk selalu bersyukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa selain sebagai sumber air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H