Tulisan ini terinspirasi setelah membaca puisi yang ditulis oleh ibu Umi Kulsum dengan judul "Beban Terkekang Sol Sepatu Terkenang" yang diupload di Kompasiana edisi 18 Mei 2024. Setelah membaca tulisan itu aku langsung ingat peristiwa tahun 1984, berikut inilah kisahnya.
Aku berasal dari keluarga yang kurang mampu dan hidupku bersama kakek dan nenek, karena orang tuaku merantau di pulau Sumatera (sekarang namanya Kecamatan Air Kumbang Banyuasin Sumsel) maka aku tidak bisa meminta lebih, apa adanya yang dikasih itulah yang kumakan dan apa yang dikasih itulah yang kupakai. Sampai masa sekolah di Aliyah pun aku hanya punya sepasang sepatu, belum beli lagi kalau belum rusak betul.
Suatu kali di tahun 1984, hujan deras mengguyur di minggu sore, membasahi seluruh tubuhku. Seperti biasa anak sekolah mencuci baju dan sepatu ya di hari minggu. Aku lupa bahwa aku menjemur sepatu, sepatu satu-satunya yang kumiliki pun tak luput dari basah. Dengan langkah gontai, aku melangkah menuju rumah, diiringi rasa cemas. Bagaimana besok aku bisa berangkat sekolah jika sepatuku basah?
Dengan tekad, aku berusaha mengeringkannya. Sepatu itu kuletakkan di atas wajan tanah yang dipanaskan di atas tungku perapian. Api kecil menjilat-jilat bagian bawah wajan, perlahan menghangatkan sepatu basahku. Aku menunggu dengan sabar, sesekali membalik sepatu agar kering merata.
Karena dipanggil nenek, sepatu kutinggalkan dan aku memenuhi panggilan nenek. Selesai mengerjakan tugas yang diberikan nenek aku kembali ke dapur bermaksud melenjutkan mengeringkan sepatu, namun tak disangka sepatuku telah jatuh dan menempel di wajan tanah dan bagian belakangnya sudah gosong. Aku tertegun dan tak terasa air mataku menetes.
Aku berpikir bagaimana besok sekolah bisa memakai sepatu, sebab kalau pakai sendal jepit tidak mungkin, tapi aku belum menemukan solusi untuk sepatuku. Tiba-tiba, ide cemerlang muncul di benakku. Aku akan menjahit sepatu itu sendiri!
Dengan tekad bulat, aku mencari alat-alat yang dibutuhkan. Aku mengambil jari-jari sepeda bekas untuk dijadikan jarum sol. Benang dan kain berwarna senada dengan sepatu pun aku temukan. Dengan penuh kesabaran, aku mulai menjahit. Jarum sol yang tajam menusuk jariku beberapa kali, tapi aku tak menyerah.
Setelah berjam-jam berjibaku, akhirnya sepatu itu selesai disol. Rasa senang dan bangga menyelimuti hatiku. Sepatuku kembali bisa dipakai, meski tak sempurna seperti semula.
Keesokan harinya, dengan penuh percaya diri aku melangkah ke sekolah. Sepatu hasil jahitanku tak membuatku malu. Justru, aku merasa bangga dengan diriku sendiri yang telah berhasil mengatasi kesulitan dengan kreatifitas dan ketekunan.
Ketika pengalaman ini disampaikan sama anak-anakku dengan maksud agar anak-anakku bisa hemat tidak sering membeli sepatu, malah dijawab "apa bapak tega melihat anak perempuannya memakai sepatu tambalan ke sekolah?" aku tertegun sambil bergumam "aduh gustiiiii". Salah lagi.
Pengalaman menjahit sepatu itu mengajariku banyak hal. Aku belajar arti ketekunan, kesabaran, dan kreatifitas. Aku juga belajar bahwa dengan tekad yang kuat, kita bisa mengatasi segala rintangan.