Lihat ke Halaman Asli

RJ Lino dan Kegenitan Intelektual Rhenald Kasali

Diperbarui: 26 Oktober 2015   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rhenald Kasali menuliskan artikel di Kompas.com dengan judul "Kini orang seperti Risma pun diganggu".

Tulisan ini ada kaitan dengan tulisan Rhenald sebelumnya yang menggambarkan sosok Dirut Pelindo II RJ Lino sebagai pahlawan perubahan.

Padahal, RJ Lino tidak bisa dibandingkan dengan Risma atau Jonan sekalipun. Mengapa?

Sederhana, Baik Risma maupun Jonan belum pernah kita mendengar kencang mereka tersangkut kuat soal dugaan korupsi dan nepotisme. Apalagi secara arogan bisa mengultimatum Presiden apapun dalihnya. Tentu tidak semua orang-orang dari daerah Timur bisa ultimatum Presiden dan Menteri.

Lino mungkin sudah melakukan beberapa hal baik tentang perbaikan pelabuhan namun tidak ada asap jika tidak ada api. Ini perumpamaan yang paling mudah menggambarkan permasalahn di Pelabuhan terkait dengan sosok RJ Lino.

Dugaan kriminal dan korupsi pembelian alat pelabuhan Pelindo II sedang diusut oleh kepolisian. Tentu polisi tidak akan bertindak lebih jauh jika tidak ada bukti-bukti yang kuat. Bahkan BPK mengakui ada potensi kerugian negara dalam kasus-kasus Pelindo II.

Lebih dari itu, tahun 2013, melalui laporan hasil pemeriksaan terhadap dugaan penyelewengan Lino, Komisaris menemukan beberapa fakta. Hal ini meliputi kendaraan inventaris perusahaan yang digunakan oleh istri Dirut Betty Lino, biaya kesehatan keluarga yang dibiayai perusahaan, pengaturan bisnis katering Pelindo oleh Betty Lino dan nepotisme dengan menempatkan beberapa anggota keluarga bekerja di Pelindo II.

Selanjutnya soal kinerja. Perbaikan pelayanan pelabuhan hanya bisa dilakukan lewat kinerja alat yang handal. Namun kita lihat bahwa dari aspek pembeliannya saja sudah bermasalah. Belum lagi bicara kualitas karena terkait produktivitas dan kecepatan bongkar muat.

Lalu yang paling fatal dilakukan oleh Lino adalah menjual aset strategis bangsa, JICT. Dilihat dari aspek manapun JICT layak dinasionalisasi. UU Pelayaran juga menyebutkan bahwa pelabuhan itu tidak semata mencari bisnis namun harus ada fungsi publik.
[caption caption="Kasus Amandemen Konsesi JICT membuat Dirut Pelindo II RJ Lino dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan berseberangan pendapat. Secara terang-terangan RJ Lino menolak perintah Menhub untuk mengurus ijin konsesi ke Kementerian Perhubungan. Menurut Menhub Ignasius Jonan, sikap RJ Lino yang tidak mengurus ijin konsesi amandemen konsesi JICT merupakan pelanggaran UU Pelayaran dan berpotensi hilangnya pemasukan bagi negara dalam bentuk PNBP."][/caption]
Ketika fungsi publik dikedepankan, maka tidak ada lagi urusan soal desakan naik tarif dari investor asing untuk katrol pendapatan.

Contohnya saat ini JICT tidak berhasil naikkan tarif namun diganti dengan cost recovery yang diterapkan sepihak oleh manajemen HPH Hong Kong. Besarannya hampir sama dengan kenaikan tarif. Pertanyaannya, dengan market share lebih dari 60% dan keuntungan perusahaan yang besar, apa hal yang mendesak bagi JICT untuk menaikkan tarif?

Jika biaya-biaya di pelabuhan bisa efisien maka niscaya kemakmuran rakyat Indonesia bisa terwujud.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline