[caption caption="Ribuan massa buruh Gerakan Nasionalisasi Aset (Ganas) berunjuk rasa di depan Kantor Kementerian BUMN. Mereka mendesak pemerintah mencopot Menteri BUMN Rini Soemarno dan Diru Pelindo II RJ Lino dari jabatannya."][/caption]
Hari ini ribuan massa dari Gerakan Nasionalisasi Asset (Ganas) menggeruduk kantor Kementerian BUMN dan dilanjutkan ke istana. Ganas yang terdiri dari 15 organisasi massa buruh dan mahasiswa (SPJICT, KSPI, FSP BUMN Bersatu, FSPMI/KSPSI, FBTPI, SBSI, KSBSI, LMND, Rekan Indonesia, Gaspermindo dll), berunjuk rasa menuntut Presiden Jokowi memecat Menteri BUMN Rini Soemarno dan Dirut Pelndo II RJ Lino dari jabatannya masing-masing. (foto: tribunnewscom)
Kemarin sore (Senin, 5/10), Rapat Paripurna DPR menyepakati pembentukan Pansus Pelindo II. Pembentukan Pansus dimaksudkan untuk menguak berbagai dugaan penyimpangan pengelolaan BUMN pelabuhan tersebut di bawah kepemimpinan RJ Lino. Bareskrim Mabes Polri hingga sekarang masih menyidik kasus dugaan penyimpangan pengadaan 10 unit mobile crane. Bareskrim Mabes Polri sudah menetapkan Direktur Teknik Pelindo II, FN, sebagai tersangka dan memeriksa puluhan saksi.
Sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menyidik kasus dugaan penyimpangan pengadaan 3 unit Quay Container Crane (QCC). Selain itu, KPK juga diminta melakukan penyidikan atas dugaan gratifikasi seperangkat furniture yang dilakukan RJ Lino kepada Menteri BUMN Rini Soemarno.
Berbagai kasus yang diduga melibatkan RJ Lino menjadi lebih menarik perhatian publik ketika Dirut Pelindo II tersebut menghubungi sejumlah pejabat saat Tim Bareskrim Mabes Polri melakukan penggeledahan ruang kerjanya. Komunikasi RJ Lino dengan Menteri PPN/Kepala Bappenas Sofyan Djalil serta telepon Menteri BUMN Rini Soemarno kepada Kapolri memantik rasa penasaran. Ada apa antara RJ Lino dengan Sofyan Djalil? Mengapa Menteri BUMN sampai harus menelepon Kapolri menanyakan penggeledahan tersebut? Mengapa jauh-jauh dari Korea Selatan, Wapres Jusuf Kalla menelepon Kabareskrim saat itu, Komjen Budi Waseso, sekadar mengingatkan agar polisi berhati-hati? Mengapa tepat seminggu setelah penggeledahan Komjen Budi Waseso dicopot dari jabatannya dan dipindah ke BNN?
Satu demi satu pertanyaan kemudian bertemu jawaban. Media-media sosial banyak mengangkat tentang hubungan antara RJ Lino, Sofyan Djalil dan Wapres Jusuf Kalla. RJ Lino diangkat menjadi Dirut Pelindo II saat Sofyan Djalil diangkat menjadi Menteri BUMN tahun 2009 di era Kabinet SBY JK. Setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri, Sofyan Djalil diangkat sebagai Komisaris Utama PT Pengembang Pelabuhan Indonesia (PPI), yang merupakan anak usaha Pelindo II. Konon pengangkatan RJ Lino menjadi Dirut Pelindo II atas rekomendasi kerabat JK yang menjadi petinggi di Bukaka Teknik Utama. Belakangan diketahui pula, menantu laki-laki RJ Lino adalah pemegang 40% saham mayoritas PT Bukaka Teknik Utama. Di Pelindo II, RJ Lino juga meng-hire mantan pegawai Bukaka sebagai komisaris di salah satu anak usaha Pelindo II.
RJ Lino terang saja membantah meski informasi tersebut terbilang valid. Bahkan dia juga mengatakan tidak memiliki kerabat yang bekerja di Pelindo II. Faktanya, selama 6 tahun menjadi Dirut, akun-akun media sosial membeberkan nama sejumlah pegawai Pelindo II yang diduga merupakan kerabat keluarga Dirut Pelindo II tersebut.
Dari semua kasus tersebut, dugaan pelanggaran perpanjangan konsesi Terminal Petikemas JICT dan TPK Koja (keduanya anak usaha Pelindo II), tentu yang lebih menarik untuk dikaji. Fakta bahwa Kementerian Perhubungan sejak era EE Mangindaan hingga Ignasius Jonan, menyatakan bahwa perpanjangan konsesi JICT TPK Koja telah melanggar Undang-Undang No 17/2008 tentang Pelayaran. Dari sisi besaran up front fee, konsultan independen Finance Research Institute (FRI) menghitung angka US $215jt setara dengan 25,2% saham, bukan 49% saham seperti yang sudah disepakati antara HPH dan Pelindo II
Sekadar catatan, konsesi JICT dan TPK Koja merupakan konsekuensi privatisasi yang dilakukan pemerintah tahun 1999. Saat krisis ekonomi tersebut, pemerintah membutuhkan dana segar untuk menambal APBN, karena itu dilakukan privatisasi BUMN. Dari lelang yang dilakukan, operator terminal petikemas asal Hong Kong, Hutchison Port Holdings (HPH), menjadi pemenang dan berhak memperoleh konsesi pengeolaan JICT selama 20 tahun sampai tahun 2019. Saat itu HPH menyetor US $243jt. Kapasitas terminal JICT 1,4 juta TEUs. Tahun 2014, Pelindo II perpanjang konsesi hingga tahun 2039, dengan up front fee US $215jt, padahal kapasitas eksisting JICT sudah 2,8 juta TEUs. Konsesi HPH di TPK Koja juga diperpanjang hingga tahun 2039 dengan up front fee US $50jt. Padahal, tahun 2000 ketika mendapatkan konsesi TPK Koja, HPH harus menyetor US $150 juta.
Serikat Pekerja JICT gigih menolak perpanjangan konsesi. Pertama, perpanjangan konsesi terindikasi melanggar UU Pelayaran. Kedua, hitungan up front fee, negara berpotensi dirugikan Rp2,8 triliun. Ketiga, dari deviden selama 20 tahun, negara berpotensi kehilangan puluhan triliun rupiah. Keempat, dengan kualitas SDM yang ada, fasilitas dan peralatan yang memadai, Serikat Pekerja JICT merasa yakin mampu mengelola terminal sendiri tanpa melibatka asing. Prestasi JICT sebagai Terminal Petikemas Terbaik di Asia untuk kapasitas di bawah 4 juta TEUs menunjukkan performa pekerja JICT dalam mengelola terminal petikemas tersebut.
Menyikapi penolakan itu, RJ Lino pun tidak segan-segan melontarkan tuduhan Serikat Pekerja JICT sebagai musuh negara, bandit dan pengacara RJ Lino bahkan menuding SPJICT antek komunis. RJ Lino juga memecat dua orang pegawai JICT yang menolak perpanjangan konsesi JICT. Tidak berhenti di situ, melalui direksi JICT, para pegawai JICT dimutasi, grounded, dan dijatuhi sanksi Surat Peringatan 1 dan 2 kepada para pekerja JICT yang dianggap membangkang perusahaan. Intimidasi terus berlanjut dengan penempatan ‘security sewaan’ yang menghabiskan dana perusahaan ratusan juta rupiah serta pencopotan paksa atribut penolakan perpanjangan konsesi.