Lihat ke Halaman Asli

Babak Baru Kisruh Amandemen Konsesi JICT

Diperbarui: 11 Agustus 2015   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sekjen sebuah lembaga buruh Internasional yg bermarkas di London pekan ini dikabarkan sengaja terbang ke Jakarta untuk menemui pengurus Serikat Pekerja JICT serta melakukan konsolidasi dengan organisasi2 buruh yg berafiliasi.

Selain itu, kedatangannya tersebut untuk menunjukkan keseriusan membahas rencana aksi dockers yg akan memboikot bongkar muat dari dan menuju Indonesia di pelabuhan2 internasional.

Dalam pandangan lembaga buruh internasional tsb, aksi stop operasi pekerja JICT yg kemudian dilaporkan RJ Lino ke Polda Metrojaya merupakan bentuk kriminalisasi terhadap gerakan buruh. Karena itu, lembaga buruh internasional yg merupakan wadah afiliasi SP JICT meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan kriminalisasi tsb.

Seperti diketahui, aksi stop operasi pekerja JICT tanggal 27 Juli 2015 lalu dipicu pemecatan secara sepihak 2 pekerja JICT yg terindikasi menolak amandemen konsesi JICT.

Sampai saat ini, Serikat Pekerja JICT tetap berkeyakinan amandemen konsesi JICT yg dilakukan Pelindo II cacat hukum. Serikat Pekerja JICT bahkan menuding Pelindo II tengah menjalankan skenario pembohongan secara sistematis.

Info tentang tender yg disebut2 oversight committee sdh dilakukan Pelindo II diragukan SP JICT. Keraguan ini mengacu pada iklan komersial Pelindo II di Harian Kompas dan Bisnis Indonesia tanggal 8 Agustus 2014 yg dengan jelas menyebutkan perpanjangan konsesi itu memang tidak melalui proses tender.

Dalam paparannya Senin kemarin sore (10/8), OC mengatakan HPH sbg incumbent telah melakukan right to match kepada 4 preferred bidder. Namun dari ke-4 preferred bidder tsb, satu pun tidak ada yg berani menawarkan harga lebih tinggi dari HPH.

Jika mengacu pada data2 eksisting JICT saat ini, alasan Pelindo II ngotot perpanjang amandemen konsesi memang mengherankan. Pasalnya, jika mengacu pada keuntungan JICT yg tiap tahun rata2 160jt dollar AS, angka up front fee sebesar 215jt dolar AS itu bisa ditutup hanya dalam waktu 2 tahun keuntungan JICT.

Atau kalaupun kebutuhan mendesak untuk memperdalam draft dan meningkatkan kapasitas JICT, mengapa tidak menggunakan deviden yg sebesar 160jt dolar AS saja? Sepanjang itu untuk kepentingan menekan ongkos logistik, pemerintah pasti mengiyakan. Apalagi Kementerian BUMN sendiri memiliki program Penyertaan Modal Negara (PMN) puluhan triliun rupiah untuk menyuntik kinerja BUMN.

Itu artinya jika benar right to match sdh dilakukan tapi tidak ada preferred bidder yg berminat, harusnya Pelindo II menghentikan proses amandemen konsesi, selanjutnya mencari alternatif lain untuk peningkatan kapasitas JICT.

Salah satunya ya dengan tidak menyetor deviden kepada pemerintah. Atau pinjaman dalam bentuk KMK, dgn kondisi keuangan JICT yg sangat sehat, lembaga keuangan nasional rasanya tidak akan menolak permohonan KMK tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline