Lihat ke Halaman Asli

HUT Jakarta 22 Juni adalah Sesat

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_115554" align="aligncenter" width="590" caption="Peta Kuno Batavia th. 1629."][/caption] Ridwan Saidi: HUT Jakarta 22 Juni adalah SESAT! Itulah kira2 judul yang mengemuka dari diskusi sejarah siang tadi (22 Juni 2011) yang bertempat di Fadly Zon Library, Jl. Danau Limboto No.96 Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Diskusi ini dihadiri oleh tiga pembicara: Batara Hutagalung (peneliti sejarah); JJ. Rizal (Pendiri Komunitas Bambu); dan tentunya Ridwan Saidi (budayawan Betawi) dengan moderator sang tuan rumah, Fadly Zon (tokoh pemuda). Diskusi dengan tema “Kontroversi HUT Jakarta 22 Juni “ ini dihadiri limapuluhan orang dari berbagai kalangan dan tokoh nasional, ada Prof. Taufik Abdullah (sejarawan senior), Fuad Bawazier (tokoh politik), Hardi (seniman senior), Ahadi (mantan Menteri Koperasi kabinet Dwikora zaman Bung Karno), beberapa media massa cetak dan elektronik, serta para peserta lain dari kalangan akademisi, umum dan pekerja seni, sejarah dan budaya. [caption id="attachment_115572" align="alignleft" width="150" caption="Ridwan Saidi"][/caption] Acara dimulai pukul 13.30 wib. Suasana sudah mulai riuh dan penuh gelak tawa ketika Ridwan Saidi (RS) memulai diskusi. Gayanya yang berani, keras, dan lugas, plus “kocak” menyebabkan hadirin tertawa terbahak-bahak. Apalagi menggunakan bahasa Betawi Tengah tulen. RS bahkan sering menyelipkan data-data yang “nyeleneh” dan “kurang masuk akal” bagi sebagian besar peserta yang hadir, tentunya ini karena hal itu merupakan hal yang baru bagi mereka. Sulit untuk diterima. Begitulah kira-kira kesan saya. Saya lantas berpikir, nggak aneh, karena itu ciri dari Abang Ridwan, panggilan saya ke beliau. Walau umurnya sudah lebih dari 69 tahun, RS sangat bersemangat soal yang satu ini. Yaitu soal HUT Jakarta 22 Juni ini yang harus di revolusi. Dengan keras beliau menyampaikan, bahwa HUT Jakarta 22 Juni adalah kesesatan, dan harus diubah. Jadi kapan seharusnya? Tanya saya. Jawab RS, adalah 3 September 1945 ketika Bung Karno menetapkan Jakarta sebagai Ibu Kota RI. Kelakar RSvyang disambut ketawa para hadirin. Dalam pandangan saya, sejarah mengajarkan kita tentang menghargai perbedaan karena sejarah merupakan sesuatu yang tak pernah berujung. Sejarah tergantung pada cara kita menafsirkan fakta kemudian menjadikannya data. Cara penafsiran ini tergantung dari metodologi yang digunakan. Karena pada saat interpretasi, subjektivitas akan kental mewarnai para penulis sejarah. Sehingga historiografi akan berbeda pada akhirnya. Terus dan terus sejarah akan berubah seiring fakta dan data terbaru yang ditemukan, keengganan mengubah sejarah adalah karena kepentingan kekuasaan (politis). Ini lah yang terjadi pada konteks sejarah Jakarta. Perdebatan sengit antara Prof. Husein Jayadiningrat dan Dr. Sukanto pada tahun 1953 soal hari jadi Jakarta, menghasilkan keputusan politis di DPRD bahwa 22 Juni ditetapkan sebagai hari lahir Jakarta. Keputusan itu telah menjadi sejarah, dan keputusan itu sah-sah saja jika memang harus diubah. Sama halnya seperti UUD 45 yang telah “diacak-acak” beberapa tahun lalu demi kepentingan pembangunan dan konteks jaman yang senantiasa berubah ini. Kebenaran mutlak tidak pernah ada dalam kacamata sejarah. Itulah seharusnya yang kita pegang. Apa yang disampaikan Ridwan Saidi, Batara Hutagalung dan JJ Rizal adalah pandangan berbeda dari masing-masing tentang Kontroversi HUT Jakarta tersebut. Namun, memiliki benang merah, bahwa HUT Jakarta 22 Juni adalah tidak tepat, dan perlu direvisi. Perlu diteliti ulang kebenaran yang terbaru, berdasarkan sumber-sumber dan fakta-fakta lama yang ditemukan. [caption id="attachment_115592" align="alignleft" width="300" caption="Pasukan Jayakarta menyerang Benteng VOC. JP. Coen lari ke Maluku. Lukisan 1618."][/caption] Dari diskusi, ada beberapa hal yang mencengangkan. Pertama, untuk apa 22 Juni dirayakan sebagai hari lahir Jakarta? Karena hari itu adalah hari penyerbuan yang memilukan bagi rakyat Sunda Pajajaran dan Portugis yang diusir dan dibumihanguskan oleh Fatahillah (bangsawan Sumatera, menantu Sultan Trenggono-raja Demak). Fatahillah, dikenal selama ini adalah pemimpin pasukan gabungan Demak, Cirebon dan Banten. Ada yang menarik, ternyata pendirian Kesultanan Cirebon dilakukan setelah Kota Jayakarta berdiri. Jadi berita yang mengatakan bahwa pasukan gabungan itu terdiri dari pasukan Cirebon itu juga tidak benar. Kan kesultanannya belum berdiri, pungkas Batara Hutagalung. Kedua, soal etnis Betawi. Menurut RS, Betawi asal katanya bukan dari Batavia. Karena penduduk Betawi sudah ada sebelum Pasukan Fatahillah menyerang Pajajaran yang berkoalisi dengan Portugis pada 1522 itu. Betawi merupakan toponimi melayu, yang diambil dari sejenis pohon yang banyak tumbuh di sekitar Tarumajaya, pinggiran Bekasi dekat Karawang. Candi Batujaya di Karawang, merupakan peninggalan Kerajaan Betawi sebelum abad Masehi. (Tuhkan, baru tahu, hehehe.. aneh gak coba?). [caption id="attachment_115579" align="alignright" width="300" caption="Penari di Batavia"][/caption] Saya dengan penasaran menyanggah dan bertanya. Terus bagaimana dengan Suku Betawi sekarang? Karena secara bahasa misalnya, kemudian pakaian adat, perumahan, kesenian, mata pencaharian, dll., Kebudayaan Betawi saat ini banyak dipengaruhi unsur-unsur akulturasi budaya dari luar. Seperti “ane-ente, lu-gue,” gambang kromong, tanjidor, rebana burdah, marawis, keroncong, pakaian pengantin betawi, dll merupakan peninggalan berbagai macam etnis dan bangsa yang pernah meramaikan dan menetap di Batavia. Jawab RS dengab ringan, itukan kasus kemaren sore lu tarik masalahnye. :D hehehhee (buset dah) RS bilang, bahwa Betawi adalah Melayu dan Islam bukan dibawa dan disebarkan oleh orang2 Gujarat, karena tidak ada jejak apapun yang ditinggalkan oleh mereka. Hanya satu kata dari bahasa Gujarat, yaitu kenduri (saya lupa tulisan aselinya). Islam di bawa dari Champa, terus ke Sumatera, terus ke Jawa. Dst.-dst. Ada dua hal yang salah jika kita merayakan 22 Juni sebagai hari lahir Jakarta. Pertama, 22 Juni itu “ngarang” alias “ngibul” karena tidak ada faktanya. Kedua, jika momen yang diambil adalah penyerbuan Fatahillah, berarti kita merayakan pembunuhan massal yang dilakukan oleh Fatahillah dan pasukannya itu atas ribuan penduduk Kerajaan Sunda Pajajaran dan orang-orang Portugis. RS menegaskan, bahwa Betawi berarti penduduk Jauh sebelum Tarumanegara, sebelum abad ke-5. Walah, gimana cara menidentifikasinya ya? :D hehe Nampaknya, Pemda DKI harus bekerja ekstra keras, karena sejarah hari lahir kotanya di gugat sebagian warganya. Batara Hutagalung mengusulkan, perlu dibentuk Dewan Sejarah Nasional untuk meneliti ulang dan merevisi secara mendalam tentang sejarah Jakarta, bahkan sejarah Nasional. Berbeda dengan JJ Rizal yang menegaskan bahwa sejarah Jakarta tidak kurang dan tidak lebih adalah keputusan Politis. Maka, menurut dia, harus direvisi dengan penelitian ulang sejarah dan keputusan politik pula. Bagaimana menurut Anda? Punya usul? :D hehehhe Pejompongan, 22 Juni 2011. Asep Kambali (Follow me @Asep Kambali | Follow us @IndoHistoria) Website http://www.komunitashistoria.org




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline