Lihat ke Halaman Asli

Menelusuri Jejak Tionghoa di Jakarta

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1389864328138261887

JAKARTA DULU KINI Jejak masa lampau Jakarta sulit dilacak keberadaannya. Melalui beberapa situs sejarah yang lolos dari "kebiadaban" masa kini lah masa lampau itu dapat terungkap. Salah satu ciri khas yang umum terdapat di setiap sejarah suatu kota adalah terdapatnya pemukiman Tionghoa atau biasa disebut Pecinan (China Town) di kota itu. Kawasan Pecinan, dalam sejarahnya selalu menjadi penopang sekaligus jantung yang menggerakan detak perekonomian. Tak heran, jika Pecinan terdapat hampir di berbagai kota besar di Dunia, termasuk Jakarta. Kini, etnis Tionghoa telah menjadi ciri sekaligus jiwa yang mewarnai sejarah kebudayaan dari kota ini. PECINAN JAKARTA, Pusat Ekonomi dan Akulturasi Budaya

1389864430607478043

Jauh sebelum Belanda membangun Batavia (kini Jakarta) tahun 1619, orang-orang Cina sudah tinggal di sebelah Timur muara Ciliwung tidak jauh dari pelabuhan itu. Mereka menjual arak, beras dan kebutuhan lainnya termasuk air minum bagi para pendatang yang singgah di pelabuhan. Namun, ketika Belanda membangun loji di tempat itu mereka pun diusir. Baru, setelah terjadinya Pembantaian Orang Tionghoa di Batavia (9 Oktober 1740), orang-orang Tionghoa ditempatkan di kawasan Glodok yang tidak jauh dari 'Stadhuis' (kini Museum Fatahillah) dengan maksud agar mudah diawasi.

Di Pecinan Glodok dan sekitarnya tempo doeloe konglomerat Khouw pernah berjaya; ribuan orang China juga pernah dibantai; perayaan Imlek; semarak Cap Go Meh; nostalgia Peh Cun, panasnya perjudian dan madat, serta aktivitas perdagangan dan perekonomian yang terus bergelora. Jejak-jejak itu, kendati terus memudar, masih tetap terasa kental. Walau sempat di kekang puluhan tahun, kini etnis yang mendarah menjadi daging dari suku Betawi ini tengah merayakan Imlek dan Cap Go Meh. Aksara China, bahasa Mandarin, berbagai pertunjukan tradisi lama Tionghoa pun semakin semarak. Sejak dulu, kawasan Glodok memiliki potensi dan letak yang strategis, maka tak aneh jika mendorong banyak orang mengadu nasib. Tak hanya orang China, orang Eropa, dan kaum pribumi pun banyak tumpah ruah di Glodok. Saat ini, orang Betawi (dari kata Batavia) yang belakangan muncul pada abad ke-19 sebagai suku tersendiri merupakan akulturasi dari banyak budaya itu. Glodok kini, bukan hanya dikenal sebagai pusat perdagangan elektronik. Wilayah perekonomian yang tak henti berdenyut ini bukan pula sekedar kawasan yang identik sebagai Pecinan saja. Karena dalam sejarah kontemporer Jakarta, glodok memiliki banyak arti: perjuangan kaum imigran, kejayaan, keterpurukan dan perlawanan terhadap nasib dan penindasan. Ini berlaku bagi siapa saja yang tinggal di Glodok dan sekitarnya. PECINAN TIDAK HANYA DI GLODOK

1389864511759217943

Sesungguhnya, kawasan Pecinan di Jakarta tidak saja identik dengan Asemka, Glodok, Pancoran dan Petak Sembilan. Karena dalam sejarah Jakarta, kawasan lain sebagai Pecinan banyak bermuculan setelah pusat kota Batavia dipindahkan ke Weltevreden (kini Monas dan Lapangan Banteng) diawal abad ke-19. Kawasan -kawasan lain sebagai Pecinan itu misalnya terdapat di Passer Baroe, Meester Cornelis Senen (Jatinegara), Pasar Senen; Pasar Tanah Abang, dsb. Di setiap kawasan tersebut hingga saat ini masih dapat kita temui jejak sejarah Tionghoa yang unik dan menarik untuk ditelusuri.

- Pancoran dan Glodok

13898645651727188327

Nama 'pancoran' berasal dari pancuran air yang terbuat dari bambu. Dahulu, di Glodok memang terdapat sumber air yang mampu memenuhi kebutuhan air minum masyarakat Kota Batavia. Air dari Pancoran di alirkan ke taman Fatahillah menggunakan pipa tanah liat. Pipa ini sempat dipotong dan dihancurkan oleh Pemda DKI demi pembuatan Tunel yang menghubungkan Stasiun BeOS dan Museum Bank Mandiri pada tahun 2006 lalu. Di tengah taman Fatahillah kemudian dibuat tempat minum kuda dan masyarakat (1873). Alat itu menyerupai kubah Museum Fatahillah. Sedangkan nama 'glodok' berasal dari suara air yang berbunyi 'grojok-grojok' kemudian lidahnya kepleset menjadi 'glodok.' Versi lain menyebutkan bahwa glodok berasal dari grobak pengangkut air tersebut yang bernama "golodok." Sebagai kawasan pecinan, Pancoran -Glodok merupakan kawasan paling padat dan ramai. Beberapa bangunan bergaya Tionghoa masih terdapat di sini. Namun, jumlahnya sangat sedikit karena banyak yang dihancurkan oleh pemiliknya. Antara lain yang masih selamat: Kelenteng Jin de Juan; Gereja Santa Maria de Fatima; dan Kelenteng Toa Sai Bio. - Passer Pagi Lama -Asemka Pasar Pagi Lama terletak di Asemka, tepatnya di belakang Museum Bank Mandiri. Di sini lah pusat grosir terbesar Indonesia yang menjual berbagai jenis barang murah dari kelontong hingga asesoris. Sebagai Pecinan, di sini juga tentunya banyak terdapat rumah bergaya Tionghoa. Ciri umum rumah Tionghoa adalah di bawah toko, di atas sebagai tempat tinggal (ruko, rumah dan toko). Ada juga yang hanya satu lantai saja. Sayang, rumah-rumah itu kini banyak yang didiamkan, dihancurkan pemiliknya, ditiban dengan bangunan baru atau sama sekali dihancurkan. Para pedagang asongan kereta jalur Kota-Bogor, Kota-Cikampek, dan Kota-Merak biasanya berbelanja di sini. Pedagang asongan bis-bis antar kota juga demikian. Jika Anda tertarik untuk berjualan, tempat ini sangatlah tepat. Bayangkan saja harga 1 buah ballpoint yang dijual di bis/kereta dengan harga Rp. 1000,-/buah, di sini dibeli dengan harga bisa sampai Rp. 250/buah. Tentunya harus membeli dalam jumlah yang banyak. - Jl. Perniagaan dan Rumah Keluarga Souw

1389864624681615475

Di sebelah Selatan Pasar Pagi Lama, terdapat Jl. Perniagaan, jalan ini dahulu disebut Jl. Patekoan. Konon, nama Patekoan berarti '8 buah teko/poci' (pat te-koan). Di daerah ini pernah tinggal seorang Kapiten Cina Gan Djie (1663-1675). Istrinya yang berjiwa sosial, setiap hari menyediakan 8 buah teko (poci) berisi air teh. Angka 8 sengaja dipilih sebab angka ini mempunyai konotasi baik atau 'hoki.' Dahulu belum banyak orang yang berjualan makanan dan minuman, jadi bagi pejalan kaki yang kelelahan/kehausan dipersilahkan minum air teh yang disediakan. Jl. Patekoan kini dinamankan Jl. Perniagaan yang sama sekali tidak mengandung makna apa-apa, selain bisnis.

Masih dari jalan perniagaan, terdapat rumah tua milik keluarga Souw. Keluarga Tionghoa ini dahulu terkenal sangat kaya-raya. Salah satunya adalah kakak-beradik Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw Keng. Souw Siauw Tjong selain orang kaya dia berjiwa sosial. Ia mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-anak boemipoetra di tanah miliknya, membantu orang-orang miskin, menyumbangkan makanan dan bahan bangunan ketika terjadi kebakaran. Maka, Tjong diberikan gelar luitenant titulair (kehormatan) oleh pemerintah Hindia Belanda pada Mei 1877. Namanya juga tercantum sebagai donor pada pemugaran Kelenteng Boen Tek Bio Tanggeang 1875 dan Kelenteng Kim Tek Ie (kini Jin de Juan) Batavia tahun 1890. Sedangkan Souw Siauw Keng (1849-1917) diangkat menjadi luitenant der Chineezen di Tanggerang tahun 1884. Beberapa meter dari rumah besar Keluarga Souw, terdapat bangunan yang kini menjadi sekolah SMAN 19 Jakarta. Di kalangan anak-anak Kota, sekolah ini sangat populer dengan sebutan cap-kau, artinya "sembilan belas". Gedungnya sangat bersejarah, sebab di tempat inilah pertama kali berdiri sebuah organisasi Tionghoa "modern" di kota Batavia, bahkan di Hindia Belanda. Pada 17 Maret 1900 berdiri perhimpunan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Tahun berikutnya THHK mendirikan sekolah modern pertama yang disebut Tiong Hoa Hak Tong disusul pembukaan cabang-cabang lain di seluruh Hindia Belanda. Berdirinya sekolah-sekolah ini merupakan reaksi masyarakat Tionghoa terhadap pemerintah Belanda yang selama itu tidak pernah meberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. Akibat perkembangan yang sangat pesat, pemerintah kolonial Belanda, yang khawatir anak-anak Tionghoa akan "tersedot" semua ke sekolah yang dibentuk THHK itu, serta-merta Belanda mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS), yaitu sekolah berbahasa Belanda bagi anak-anak Tionghoa. Pada 1965, THHT yang di Jl. Patekoan itu di tutup oleh pemerintah Orde Baru dan bangunannya diambil alih menjadi sekolah pemerintah dengan nama SMAN 19 Jakarta. - Kawasan Elit Mangga Dua Wilayah Mangga Dua berada di luar benteng kota Batavia, merupakan wilayah penempatan bagi pemukiman pribumi kelompok etnis. Posisinya sebelah tenggara Kasteel Batavia. Wilayah ini menjadi lahan pertanian bagi keperluan Kasteel Batavia. Dalam perkembangan berikutnya, banyak pejabat VOC Belanda dan orang kaya Eropa yang memilih membangun bungalow di daerah ini. Salah satu yang terkenal adalah Pieter Erberveld yang memiliki tanah luas di Mangga Dua. Di pojok tenggara Kasteel Batavia terdapat tempat hiburan yang disebut dengan Macao Pho, di sini banyak wanita penghibur yang didatangkan dari Macao/ daratan Cina untuk menghibur para pelaut yang datang bersampan melewati Ciliwung yang menghubungkan Jassenberg (jembatan Jassen) dengan pelabuhan. Ada tempat hiburan ada juga tempat ibadah. Maka, di sini juga terdapat Gereja Sion bagi orang-orang Portugis tawanan VOC Belanda yang dimerdekakan karena pindah anutan dari Katholik menjadi Protestan (kaum mardijker). Di Mangga Dua terdapat banyak peninggalan sejarah, yaitu: Mesjid Mangga Dua yang dibangun awal abad ke-20, di dalamnya terdapat makam keramat; Areal pemakaman orang-orang Tionghoa, termasuk makam Kapitein Cina pertama di Batavia, Souw Beng Kong. Ia adalah sahabat lama dari Jan Pieterzon Coen. Ketika JP. Coen menjadi Gubernur Jenderal VOC dan mulai membangun Kasteel Batavia, ia mengajak Souw Beng Kong yang berada di Banten untuk membawa masyarakat Cina bergabung di Batavia. Kemudian Souw Beng Kong datang ke Batavia dengan membawa 300 orang Cina. Maka, ia diberi pangkat Kapitein, sebuah pangkat tertinggi bagi kelompok etnis yang menjadi abdi VOC. Kelompok masyarakat lain juga diberi pangkat demikian Seperti Kapitein Arab; Kapitein Banda, Kapitein Bali; juga pangkat Mayor dan Liutenant. - Kawasan Passer Baroe

1389864700447894317

Passer Baroe mulai ada sejak tahun 1821. Dinamakan pasar baru karena pada saat itu pasar ini relatif baru dari dua pasar yang telah ada sebelumnya yaitu pasar Senen dan pasar Tanah Abang yang dibangun sejak 1735. Passer Baroe awalnya merupakan perkampungan yang dihuni masyarakat Tionghoa. Kemudian menjadi daerah pertokoan, walaupun keadaannya masih sepi. Memasuki abad ke-20, jalan yang membelah pasar itu akhirnya dipenuhi toko-toko. Itu pula yang mendorong pemerintah Hindia Belanda memperindah Passer Baroe dengan mengucurkan dana yang cukup besar. Maka, dibuatlah trotoar di kiri kanan jalan. Semakin hari Pasar Baru semakin bersinar.

Kala itu barang-barang yang dijual masih berupa kelontong, bukan sepatu atau tekstil seperti sekarang ini. Baru pada tahun 1903, Tio Thek Hong mendirikan toko di pojok kanan jalan perempatan gang Kelinci dan Pasar Baru. Area ini menjual barang-barang anyar dari Eropa dan Amerika. Di toko ini pembeli juga tak harus menawar karena harganya pasti. Berkat Tio Tek Hong pula area ini naik daun. Pasar baru dikenal sebagai daerah elit karena berada dekat dengan kawasan rijswijk (jalan Veteran) yaitu kawasan khusus dimana orang-orang kaya tinggal. kalau kawasan rijswijk didominasi oleh bangunan perkantoran dan tempat tinggal, maka kawasan ini adalah tempat untuk rekreasi dan belanja mereka. Namun, kini pasar baru pamornya mulai memudar. Hal ini karena menjamurnya pasar-pasar raksasa yang lebih modern seperti hypermart dan mall-mall. - Kawasan Meester Cornelis Senen -Jatinegara

1389864828530478492

Pada masa penjajahan Belanda, Jatinegara merupakan pusat dari kabupaten yang dikenal sebagai Meester Cornelis. Kabupaten Jatinegara saat itu meliputi Bekasi, Cikarang, Matraman dan kebayoran. Nama Meester Cornelis diganti menjadi Jatinegara pada masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942. Meskipun demikian, nama Jatinegara yang berarti 'negara sejati' itu sudah dipopulerkan oleh Pangeran Ahmad Jayakarta saat beliau mendirikan perkampungan Jatinegara Kaum di wilayah Pulo Gadung, Jakarta Timur. Versi lain mengatakan bahwa nama Jatinegara diadaptasi dari banyaknya pohon jati yang masih ditemukan di kawasan tersebut pada masa pendudukan Jepang, sehingga nama Meester Cornelis diganti menjadi Jatinegara.

Pada pertengahan abad ke 17, Belanda memberikan ijin pembukaan hutan di sebuah kawasan yang jaraknya kira-kira 15-20 kilometer dari Batavia kepada Cornellis Senen (seorang guru agama Kristen). Cornellis Senen adalah seorang keturunan Portugis yang berasal dari Lontor, Pulau Banda. Dia mampu berkhotbah dalam bahasa Melayu maupun Portugis (Kreol). Cornellis Senen biasa dipanggil Meester yang berarti tuan guru. Konon beliau ditolak oleh panitia ujian saat beliau ingin menempuh ujian untuk menjadi seorang pendeta pada tahun 1657. Bisa jadi beliau ditolak karena beliau bukan asli keturunan Belanda. Namun demikian, beliau diberi hak untuk membuka hutan dan menebang pohon jati di tepi sungai Ciliwung. Hutan yang dibukanya kini menjadi daerah padat penduduk yang dikenal sebagai Jatinegara. Nama Meester sendiri diabadikan menjadi Pasar Meester. Di pasar ini banyak terdapat peninggalan sejarah berupa rumah-ruamh Tionghoa lama, tentunya hal itu mengindikasikan sebagai Pecinan. Objek sejarah lain yang terdapat di Jatinegara yaitu: Gereja Koinonia yang dibangun akhir abad ke-19; SMPN 14 Jakarta; Stasiun Kereta Api Jatinegara; Gedung Eks. Kodim 0505; Kantor Pos Jatinegara; dll. - Passer Senen dan Tanah Abang Kedua pasar ini didirikan oleh seorang Belanda bernama Justinus Vinck pada tahun 1735 di atas tanah miliknya. Pasar Senen didirikan di Weltevreden (kini Monas dan Lapangan Banteng) sebelah Timur, sedangkan di tempat lain dibangun juga pasar Tanah Abang. Untuk menghubungkan kedua pasar itu maka dibuatlah jalan yang melewati Kampung Lima, Jembatan Prapatan sampai simpang Senen - Kramat. Inilah jalan pertama yang menghubungkan timur dan barat Jakarta. Di pasar Senen atau Vinckepasser dahulu banyak dijual sayuran. Berbeda dengan sekarang yang banyak menjual pakaian bekas dan bursa kue subuh. Nama pasar Senen sendiri berasal dari nama hari, karena hanya buka tiap hari Senen saja. Berbeda dengan pasar Senen, di pasar Tanah Abang dahulu banyak dijual kambing. Namun, tidak sampai hari ini, karena harus beralih mejadi bursa tekstil terbesar di Indonesia. Hari bukanya juga hanya Sabtu saja. Hal ini bahkan sampai pemerintah menetapakan hari Senen dan Sabtu sebagai hari pasar. Sejak 1751 pasar Tanah Abang buka juga hari Rabu. Kini, kedua pasar itu buka tiap hari karena kebutuhan masyarkat yang terus meningkat. Keadaan pasar di masa lalu tidak seperti sekarang. Dahulu pasar terbuat dari atap rumbia dan bertiangkan bambu. Pemilik petak pasar umumnya adalah orang-orang Tionghoa. Maka jangan heran hampir di setiap pasar besar yang ada di Batavia kebanyakan pedagangnya adalah orang Tionghoa. Mereka bahkan membuat rumah di atas tokonya atau di sekitar pasar. Orang Tionghoa juga sebagai petani dan pengusaha lain. Maka tak aneh jika mereka banyak mendominasi perdagangan, hingga akhirnya membangkitkan gairah perekonomian kota. Jika ditelusuri, lembaran sejarah perekonomuan bangsa ini tidak terlepas dari peran orang-orang Tionghoa di dalamnya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline