Halo, sobat fashion!
Pernahkah kalian menonton acara fashion week? Iya, sebuah acara peragaan busana yang memakai gaun mewah itu. Coba lihat deh, bagaimana gaya busana yang dipakai? Kalau saya lihat, gaya busananya mirip dengan gaun-gaun pada masa kolonial. Ternyata, gaya busana masa kini pun terpengaruh oleh gaya busana Eropa pada masa kolonial. Kemudian, saya terpikirkan beberapa pertanyaan, ketika saya sedang menonton acara tersebut, bagaimana gaya berbusana para sendok emas dulu di abad 19? Lalu, apa busana yang dipakai? Saya penasaran dengan pertanyaan itu. Saya pun mencoba untuk menjelajah gaya busana pada abad 19 di Bandung. Kenapa Bandung? Karena Bandung memiliki gaya busana yang berkiblat ke Paris, julukannya pun "Parisj van Java". Salah satu daerah terkenalnya adalah Braga. Busana adalah salah satu kebutuhan manusia yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Busana pun sampai era modern ini sangat penting dan banyak dicari orang-orang. Gaya berbusana ini dapat memberikan identitas pada seseorang. Jika memakai busana mewah, tandanya orang kaya. Sebaliknya, jika memakai busana sederhana orang akan tersenyum meremehkan. Gaya berbusana ini penting bagi semua orang sebagai ajang "adu gaya".
Bangsawan pribumi, baik pria dan perempuan, awalnya tidak mempedulikan gaya busana yang dipakai. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran dalam berpenampilan. Mereka memakai busana hanya untuk pelindung tubuh, bukan dijadikan mode. Memang, pada masa itu mereka lebih peduli dengan sekolah dan diplomasi. Akan tetapi, pemuda dan pemudi pun mulai menyadari bahwa mereka juga harus memperhatikan penampilan, karena penampilan seperti cermin yang dapat memantulkan identitas seseorang. Orang Eropa telah mengalami kemajuan dalam hal gaya berbusana. Banyak para sendok emas pun mengikuti mode busana tersebut. Toko Braga pun banyak menjual busana pada orang-orang pribumi.
Pria dan perempuan memiliki gaya busana yang berbeda, namun tetap mengikuti mode Eropa. Berdasarkan jurnal Candrasangkala (Ayu Septiani, 2015), gaya berbusana untuk perempuan bangsawan itu hanya mencontoh bahannya dan waktu pemakaiannya tanpa menghilangkan gaya aslinya. Gaya busana perempuan adalah dengan memadukan kebaya batik dengan busana Eropa, seperti memakai sarung tangan dan kacamata. Kebaya dengan motif kain bergaris-garis hitam dan putih biasa digunakan oleh perempuan Eropa dan perempuan pribumi. Sedangkan, para pria menggunakan kemeja putih yang dipadukan dengan jas dan dasi. Kemeja putih ini dihiasi renda pada bagian dada dan lengan. Kemeja sering dipadukan dengan jas hitam atau putih disertai dasi dan sepatu pentopel. Para pria yang memakai kemeja putih dianggap kaya karena memiliki uang untuk mengganti kemejanya. Pria yang memakai kemeja putih juga sering bekerja di tempat bersih karena kemeja putih itu elegan dan mewah di masa kolonial. Pemakaian kebaya dan kemeja putih ini pun banyak dipakai oleh bangsawan di Bandung. Bahkan, toko butik di Braga pun meyjual pakaian tersebut. Banyak pakaian yang dipajang pada etalase toko untuk menarik pembeli. Kemudian, perkembangan selanjutnya adalah gaya berbusana perempuan pribumi yang sudah sepenuhnya meniru busana Eropa dan kebaya pun kehilangan pamornya pada masa itu. Perempuan pribumi itu memakai dasi, bersepatu tinggi, dan gaun putih.
Salah satu toko yang menyediakan berbagai busana tren Paris adalah Toko Mode Magazijn di Bragaweg. Hal ini telah membuktikan bahwa tren busana di Bandung telah mengikuti perkembangan dunia melalui mode Paris. Banyak bangsawan pribumi yang membeli baju di Braga ini. Nuansa modern ini terasa dari unsur Barat yang ditiru dan diadopsi beberapa toko busana di Bandung. Gaya busana pun makin beragam dengan adanya tren baru ini. Gaya tren busana ini dapat diamati dari iklan koran dengan gambar dua orang perempuan . Seseorang memakai mantel dengan topi yang lebar dan seseorang lagi memakai gaun dengan bertopi. Melalui gambar tersebut, secara tersirat bermakna bahwa bangsawan pribumi sudah tidak memakai kebaya lagi dalam perkembangan berbusana. Bagi kalangan perempuan, gaya berbusana ini sering berganti-ganti, sedangkan kalangan pria tetap hanya kemeja dan jas. Pria hanya dilengkapi aksesoris saja dalam gaya berbusananya. Perkembangan gaya busana di Bragaweg ini sangat mencolok dan ditandai dengan munculnya golongan pesolek. Selain itu, ada juga perempuan yang memadukan kebaya dengan busana Eropa. Hal ini terlihat pada busana pengantin yang memakai kebaya batik, namun dipadukan dengan veil (kerudung penutup kepala). Semua gaya berbusana tersebut dipakai oleh para bangsawan pribumi. Mereka menyadari bahwa penampilan itu penting walaupun mereka sedang dijajah.
Dengan demikian, gaya berbusana untuk bangsawan pribumi ini mengalami perkembangan. Jika dilihat dari perkembangan, banyak gaya busana perempuan yang sering berubah mengikuti tren-tren di masa kolonial daripada gaya busana pria. Gaya busana pria tidak sering berubah karena tiap tahun modenya tetap sama yaitu jas dan kemeja. Selain itu, gaya berbusana di masa kini banyak meniru gaya busana Barat dalam perkembangan modenya. Para bangsawan pribumi menyadari bahwa gaya orang-orang Eropa itu sangat modis. Bahkan, gaya busana ini banyak ditampilkan di toko-toko Braga. Hal ini membuktikan bahwa mode berbusana di kalangan bangsawan pribumi telah mengalami perubahan sehingga mengalami akulturasi dan asimilasi mode busana. Akulturasi adalah perpaduan dua unsur kebudayaan tanpa menghilangkan unsur aslinya. Hal ini terlihat dari busana pengantin perempuan yang memadukan gaya Barat dengan gaya Indonesia. Asimilasi adalah perpaduan dua kebudayaan yang berbeda dengan menghilangkan unsur aslinya sehingga melebur jadi satu kebudayaan. Hal ini terlihat pada busana bangsawan pribumi yang sudah seutuhnya memakai busana mode Eropa.