Lihat ke Halaman Asli

Belajar Memang Lintas Waktu

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruang kelas, dari sisi pinggir tengah menuju timur depan, yang terlihat hanyalah sorotan cahaya redup yang datang dari samping barat terbias oleh cermin dan kaca-kaca jendela.Tak ada sunyi, sebab obrolan usai transfer adaptasi ilmu pengetahuan pagi itu cukup hangat dan menghangatkan. Sejak melangkah dari pekarangan rumah, sepanjang jalan, hingga sampai ke tempat sekolah, selalu saja ada bahan untuk diperbincangkan, dipertanyakan, atau dipernyatakan. Dengan berseragam merah putih bertopi dan berdasi, usai upacara bendera, selalu saja seluruh siswa berhamburan bebas menuju ruang kelas itu. Atau mereka mesti berkunjung ke ruang kelas lainnya sebab sejarah atau aktivitas meningkatkan daya ingat adalah sebuah bentuk penghargaan untuk memulai dan kembali lagi ke ruang kelas terakhir. Tentu saja mereka tidak lama-lama di ruang kelas itu, hampir tak serupa dengan kisah al-kahfi yang beberapa tahun kemudian dikenal sebagai sebuah kisah religious yang cukup mengagetkan nilai sejarah. Mereka tidak bisa dijangkau oleh akal sederhana semata, namun juga mesti diiringi dengan keyakinan dan kepercayaan yang tulus, yang hanya hadir manakala kesadaran mempergunakan akal sehat sejalan dan seirama dengan kesadaran memahami berbagai bentuk dan warna-warni yang melingkupi alam sekitarnya.

Empat tahun lamanya diam-diam waktu bergerak merayap. Ruang kesadaran mulai terbuka lebar, kekayaan visualisasi semakin terekam luas, sebab sorot kedua mata selalu tak sengaja dipertemukan dengan berbagai definisi, bentuk, warna, huruf, angka, iklim, hingga bentuk anatomi dengan berbagai rupa hingga nada suara yang nyaris memiliki jumlah dan bentuk yang nyaris serupa namun substansi isinya memiliki kekayaan yang luar biasa. Bertemu Video games seperti bangku sekolah, memang awalnya mengagetkan sebab sorot mata biasanya selalu tertuju pada televisi hitam putih atau film layar tancap yang hanya dipertontonkan pada saat hajatan atau waktu-waktu luang saja. Mereka tidak bisa ‘diapa-apakan’ namun hanya bisa dilihat dan didengar saja dimana itu sungguh berbeda dengan teknologi kini video games. Bertemu dengan lautan atau kolam renang, bukan main lebih mengagetkan lagi. Sebab biasanya sorot kedua mata dan anatomi tubuh selalu tertuju dan bersentuhan pada balong-balong ikan persawahan yang suatu waktu dapat dilihat dan ‘dijelajahi’. Akan tetapi bertemu dengan layangan, sepertinya sudah tak aneh lagi. Hanya mungkin bentuk, warna-warni dan ukurannya saja yang agak sedikit mengagetkan. Selain karena layangan adalah mainan lintas usia, layangan sepertinya juga seolah-olah melapangkan sebuah imajinasi, memilih bentuk komunikasi ‘on-air’, learning to looking up, stand up on its place, atau ‘running go back’, bukan hanya sekadar membentuk konfigurasi suara layangan, namun mereka sepertinya berusaha untuk mencoba menampilkan kegagahan, kecepatan, dan kelincahan sebuah layangan. Kemenangan dan kekalahan layangan yang dipertandingkan, biasanya bukan hanya perkenan keberuntungan, namun kualitas benang, kecepatan, dan besar kecilnya angin yang berhembus yang turut menentukan sebuah permainan.

Kekuatan berjalan, melihat, membaca, berpikir melingkar, atau menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, pada waktu-waktu tertentu biasanya aktivitas yang sudah sadar tak sadar menjadi bagian dari aktivitas siapapun sejak mulai abad prasejarah hingga abad modernisasi informatika terkini dimana perkembangan serta penghargaan terhadap ilmu pengetahuan semakin meningkat pesat. Sebuah catatan lagi bahwa setiap abad atau zaman memiliki definisi dan realitas tersendiri dimana mereka cenderung seiring dengan perkembangan pola pikir, transfer dan adaptasi ilmu pengetahuan, hingga kreativitas, reproduksi, dan reformasi yang terus menerus cenderung tetap atau tidak tetap. [af]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline