Lihat ke Halaman Asli

Asep Imaduddin AR

Berminat pada sejarah

Bermula di Majalengka, Paripurna di Magelang

Diperbarui: 30 Juli 2020   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ajip Rosidi barangkali adalah pengarang yang serba bisa. Ia menulis beragam genre. Esai, carpon, sajak dan lain-lain. Tulisan-tulisannya sejak muda usia sudah diterbitkan di sejumlah media massa. Kebisaan menulis inilah yang kemudian ia pupuk dan menjadi darma bakti di sepanjang karirnya.

Ia menulis sama baiknya dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda sebagai bahasa ibunya. Tak diragukan lagi, ia sangat mencintai bahasa Sunda. 

Salah dua kontribusi yang sangat penting adalah Pustaka Jaya menerbitkan Ensiklopedia Sunda, juga Kamus Basa Sunda yang dikumpulkan oleh R. A. Danadibrata. Ajip sekaligus menulis kata pengantarnya. Mungkin saja, kalau tak ada Ajip Rosidi, dua khazanah penting ini tak bisa hadir untuk melengkapi wawasan kesundaan.

Karir Ajip Rosidi sebagai pengarang rasa-rasanya sudah komplit. Sepanjang hidupnya ia dedikasikan untuk menulis. Pernah mengelola penerbitan buku Pustaka Jaya. Kalau tidak salah mungkin aktif juga di Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta sekitar tahun 1980-an ya.

Ia juga merupakan inisiator dan sekaligus pendiri penghargaan sastra Rancage, yakni tawis kabingah untuk karya-karya sastra yang ditulis oleh bahasa daerah. Awalnya tentu saja Sunda, kemudian Jawa, dan Bali. Kini, pemberian penghargaan itu diteruskan oleh yayasan yang didirikannya.

Sebagai aktivis literasi sepanjang hidupnya, Ajip juga membukan Perpustakaan Ajip Rosidi yang terletak di Jalan Garut No. 2 Kacapiring Kecamatan Batununggal Kota Bandung. Barangkali sebentuk pengabdian pada masyarakat, agar buku-buku yang dikoleksinya bisa dibaca untuk umum.

Dan tak boleh dilupakan, Ajip pernah menjadi dosen di Jepang dan tinggal cukup lama di sana. Saya kira ini adalah sebuah pengakuan dari orang "luar" terhadap kepakaran Ajip.

Padahal sebagai orang sekolahan, ia hanya berijazah SMP di tempat kelahirannya, di Majalengka sebelum hijrah ke ibukota. Karena sepengakuannya dalam "Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam Dalam Kenangan", sewaktu bersekolah di Taman Siswa Jakarta tersebut, ia memutuskan tak ikut ujian akhir karena ada desas-desus soal ujiannya bocor.

Pemikiran Ajip yang "radikal" terhadap ujian akhir sekolahnya menunjukkan ia telah berpikir dewasa dalam usianya yang masih belasan tahun. Ia sudah sadar dengan konsekwensinya apa yang akan dihadapinya kemudian. Ia dengan teguh, karena sudah sering menulis dan dimuat dalam sejumlah media massa, memutuskan menulis sebagai jalan hidupnya. Sebuah pilihan yang sangat tidak populer untuk ukuran waktu itu, bahkan hingga...sekarang.

Ia meyakini bahwa dengan rakus membaca dan menulis, ia bisa menghidupi dirinya dan keluarganya kelak. Pilihan Ajip benar. Ia yang telah menulis sejak belia adalah sebuah contoh dari perwujudan kredo "Hidup yang tak dipertaruhkan adalah hidup yang tak akan dimenangkan".

Ajip Rosidi dengan segala atribut yang melekat padanya sudah mempertaruhkan kehidupannya. Dan ia telah menang. Ia wafat dalam usia 82 tahun. Bermula di Majalengka, berakhir di Magelang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline