Seorang kawan pernah bercerita perihal usaha orang tuanya. Ibunya adalah seorang pemilik sejumlah toko pakaian di sebuah kota kecil di Jawa Barat. Ibunya mengeluhkan sepinya omset penjualan yang cenderung terus menurun sejak lima tahun terakhir. Padahal, jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, omsetnya tergolong stabil dan besar. Ini berbeda dengan hari-hari belakangan ini yang tergolong lesu. Orang-orang seperti tak mau untuk berbelanja baju dan semacamnya.
Dalam hari-hari biasa, ujar kawan saya itu, jarang sekali orang-orang membeli kebutuhan sandang. Hanya menjelang momen-momen tertentu saja toko milik ibunya itu dikunjungi banyak calon pembeli, seperti menjelang lebaran, natal, dan tahun baru saja. Di luar hari-hari itu, datar-datar saja tanpa ada lonjakan yang berarti.
Saya hanya mendengarkan keluh-kesah kawan saya itu. Dalam hati, saya seperti mengiyakan fenomena yang dikisahkan kawan saya itu ihwal usaha toko baju orang tuanya. Namun, apa yang sedang terjadi sebenarnya? Apakah daya beli masyarakat sedang turun atau tren belanja online yang sedang marak?
Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul "The Great Shifting" pernah menelisik bahwa 40% kios yang ada di Glodok sudah tak lagi beroperasi.
Glodok yang pernah menjadi primadona pusat penjualan barang elektronik, capaian kinerjanya pun terus turun. Tak hanya di Glodok sebetulnya, tambah Rhenald, hal ini juga terjadi di Harco Mangga Dua, ITC Roxy Mas, ITC Cempaka Mas, Mangga Dua Mall, dan Metro Pasar Baru juga mengalami hal yang sama.
Mengapa hal di atas bisa terjadi? Menurut Rhenald Kasali bahwa fenomena seperti itu bukan karena daya beli yang turun melainkan selera masyarakat yang berubah. Mereka tetap berbelanja namun dengan cara yang lain. Sebagian dari mereka tak lagi belanja dengan cara yang tradisional.
Mereka masih berbelanja namun dengan cara-cara yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Hal ini seiring dengan-kalau kita melihat iklan di televisi-maraknya sejumlah marketplace yang menjajakan dirinya sebagai sebuah platform belanja yang menawarkan kepraktisan dan kemudahan.
Orang tak lagi harus menghabiskan waktu hanya untuk sekadar membeli satu dua barang, serahkan semuanya pada platform belanja dan tunggulah barang itu di rumah atau kantor, karena kurir-lah yang akan mengantarkannya. Kira-kira begitu.
Dari hal tersebut, kita bisa melihat bahwa di balik turunnya penjualan offline, ternyata ada sebagian penjualan online yang meningkat drastis dengan ditandai melonjaknya bisnis pengiriman barang yang menggunakan jaringan intracity. Inilah berkah dari bisnis online.
Perantara barang dari produsen ke konsumen merupakan peluang yang tak bisa enteng. Dan peluang inilah yang kemudian banyak dilirik sejumlah layanan logistik pengantaran dan pengiriman barang.
Salah satu layanan yang menangkap peluang jasa logistik antar kirim barang itu adalah J&T Express. Ini merupakan efek dari cara belanja yang berbeda dengan sebelumnya. Walhasil, data terakhir yang penulis dapat di akun instgram J&T Express menyebutkan bahwa di tahun 2019 ini, J&T Express telah mencatat 71% barang yang dikirimkannya adalah berupa paket yang berasal dari sejumlah online seller marketplace ternama yang ada di Indonesia.