[caption id="attachment_259272" align="alignleft" width="300" caption="Buku Rantau 1 Muara dan pembatas buku"][/caption]
Judul Buku: Rantau 1 Muara
Penulis: A. Fuadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Mei 2013
Halaman: ix + 401 Halaman
Selepas menjadi duta muda Unpad membawa misi kebudayaan Indonesia ke Quebec Kanada selama setahun, Alif Fikri merasa lebih “jumawa.” Ia bukan lagi Alif Fikri yang biasa biasa saja seperti waktu waktu sebelumnya. Harga dirinya naik beberapa level. Menimba pengalaman menuntut ilmu di luar negeri membuat kepercayaan diri yang dimiliki Alif terus meningkat. Ya, ia adalah si anak kampung lulusan Pondok Madani yang sanggup menggapai satu per satu mimpi yang sedang dan terus diperjuangkannya.
Karirnya sebagai penulis muda di beberapa harian lokal di Bandung juga menanjak. Ia tak lagi mengiba iba agar tulisannya dimuat, malahan ia sekarang diminta untuk menjadi kolomnis tetap di sebuah koran bernama Warta Bandung. Satu hal yang membuat Alif senang, dompetnya tak khawatir kering kerontang. Selain ia mampu menghidupi dirinya sendiri di perantauan, sebagian penghasilan dari menulisnya itu ia kirim ke amak di kampung buat biaya sekolah adik adiknya.
Namun sayang, masa keemasan itu tak bertahan lama. Berbarengan dengan Alif lulus sebagai sarjana Ilmu Hubungan Internasional, Indonesia sedang dirundung malang. Badai krisis moneter yang berawal dari Thailand, mulai menghantam negeri tercinta ini. Nilai tukar rupiah dengan dollar dengan cepat melesat ke awan. Sejumlah perusahaan yang beroperasi di Indonesia gulung tikar. Ribuan karyawan terkena pemutusan hubungan kerja. Puncak dari itu semua adalah reformasi politik yang berhasil melengserkan Presiden Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun.
Alif pun kena imbas. Karena harga kertas yang juga semakin naik, label kolomnis tetap pada sebuah koran yang disandangnya itu purna sudah untuk waktu yang tak bisa ditentukan. Alif menafsirkannya sebagai sayonara pada sebutan kolomnis ini. Alif limbung. Salah satu sumber keuangannya pun terancam. Alif semakin kalut manakala sejumlah surat lamaran pekerjaan yang ia layangkan pada beberapa perusahaan tak kunjung membuahkan hasil. Pada kondisi itulah Alif merasa berada di titik nadir.
Untunglah Alif tak cepat putus asa. Mantra man jadda wajada dan man shabara zhafira yang ia peroleh dari pelajaran mahfudzat di pondok membuatnya kembali bergairah dalam menyongsong hidup. Secercah harapan datang dari sebuah majalah berita terkemuka yang berpusat di Jakarta. Namanya Majalah Derap. Alif diterima sebagai calon wartawan dengan masa percobaan enam bulan.
Alif sukses diterima sebagai wartawan tetap. Ia kemudian menjalani rutinitasnya dengan berbagai penugasan jurnalistik: Usulan berita, wawancara, reportase, dan menulis. Sampai pada suatu ketika Alif pun terhenyak, bahwa pekerjaan sebagai wartawan yang sedang ia tekuni tak lagi menantang hidupnya. Hidupnya terasa datar. Dari kubikel lalu ke lapangan, dan begitu sebalilknya. Ia perlu melakukan lompatan yang spektakuler. Hasil obrolannya dengan Pasus dan Dinara-kelak menjadi pendamping hidupnya-memantik Alif untuk segera mewujudkan impiannya yang lain.
Alif kembali merumuskan hidupnya yang baru. Sekolah S2 di luar negeri adalah hasrat terpendamnya. Ia kembali teringat pepatah Kiai Rais, man saara ala darbi washala. Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai tujuan. Alif yang haus akan ilmu pengetahuan memancangkan target itu. Provokasi dari Randai sahabatnya ikut memantapkan impian Alif.
Kabar suka itu pun tiba juga. Alif mendapat slot beasiswa Fullbright untuk belajar di Amerika. Dengan yakin, Alif memilih tempat studinya di George Washington University (GWU) di Washington DC. Satu lagi impian Alif pun tercapai.
Dengan riang dan hasrat yang menggebu terhadap ilmu pengetahuan, membuat Alif seperti rakus. Ia tak hanya rajin mengikuti perkuliahan di dalam kelas, tetapi secara teratur ia pun sering berlama lama di perpustakaan. Mengerjakan tugas dan membaca.
Kebahagiaan Alif semakin bertambah ketika ia berhasil menyunting Dinara, koleganya semasa di Derap. Usai resepsi di Jakarta, Dinara pun segera diboyong ke Amerika. Jadilah dua pasangan ini berjibaku dengan hiruk pikuk modernitas di negeri Paman Sam.
Setelah Alif sukses meraih gelar master di GWU, tak lama ia pun menyusul Dinara bekerja di American Broadcasting Network (ABN). Alif dan Dinara menjadi dynamic duo yang tangguh dan kerap kali membuat liputan ekslusif bagi kantor tempatnya bekerja.
Apa yang kurang bagi Alif? Seorang istri yang mencintainya. Pekerjaan yang menjanjikan. Hidup di sebuah negara maju dengan fasilitas layak. Nyatanya, rutinitas sebagai pekerja imigran terkadang melenakan. Rutinitas telah “membunuh” Alif dalam lingkaran setan kemapanan dan kenyamanan.
Padahal, hidup tak sekedar memuaskan nafsu apa yang ingin diperoleh sebanyak banyaknya. Sebaik baiknya manusia yang hidup, ujar Alif ketika dalam satu obrolan dengan Dinara adalah hidup yang berguna bagi manusia yang lainnya. Khairunnaas anfa’uhum linnaas. Dan diam diam Alif mulai menyukai kenyamanan yang ditawarkan oleh Amerika. Mau apalagi?
Alif mulai berada di persimpangan ketika Dinara dan Ustad Fariz dalam kesempatan yang berbeda menyentilnya untuk pulang ke tanah air. Alif merasa ia belum cukup menimba pengalaman di negara adidaya sementara di luaran sana banyak orang yang mengantri ingin bekerja di Amerika. Di sisi lain Alif pun menyadari bahwa di kampung halamannya Amak semakin tua karena usia yang terus merambat. Amak hanya bisa menanyakan “Kapan Alif libur”?
Godaan untuk terus menikmati Amerika sedang berkecamuk melawan konsepsi untuk segera pulang ke Indonesia. Seperti burung burung yang selalu terbang di luasnya cakrawala, ia selalu kembali ke sarang. Kebahagiaan yang hakiki bukan terletak pemuasan material belaka, namun perlu dibarengi dengan rasa rindu dari mana kita berasal. Orang Jawa menyebutnya sebagai sangkan paraning dumadi. Manusia perlu tahu hakikat asal dan kemana tujuan yang sesungguhnya.
Di tengah puncak karir sebagai jurnalis ABN dan tawaran menggiurkan sebagai senior editor European Broadcasting Corporation (EBC) di London, Alif memutuskan untuk pulang ke tanah air. Ia hendak memulai langkah baru. Langkah yang diniatkannya sebagai pengabdian pada muara tempat ia berasal, sebelum menjejakkan di tanah tanah perantauannya dulu. Mungkin, pada titik inilah hakikat dari sebuah rantau satu muara.
Rantau 1 Muara adalah novel pamungkas dari trilogi Negeri 5 Menara yang ditulis oleh A. Fuadi, seorang lulusan Pondok Modern Gontor dan kemudian berkesempatan melihat indahnya dunia lewat sejumlah beasiswa yang disabetnya.
Kalau di novel pertama dan kedua kita disuguhi mantra man jadda wajada dan man shabara zhafira, maka di novel terakhir ini mantranya adalah man saara ala darbi washala. Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai tujuan. Benang merah dari ketiga novel ini hampir sama yakni keteguhan dan konsistensi akan tujuan yang hendak kita capai, tentunya setelah usaha yang kita lakukan maksimal.
Pesan motivasi yang disampaikan dalam novel ini terasa mengena karena basis penulisan novel ini berangkat dari pengalaman pribadi penulisnya. Saya kira novel ini layak diapresiasi sekaligus menambah daftar dalam khazanah sastra Indonesia yang berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H