Lihat ke Halaman Asli

Asep Imaduddin AR

Berminat pada sejarah

Menjadi Guru di Masa Lalu

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tak mudah sebetulnya menjadi guru. Apalagi menjadi guru yang baik dengan kompetensi mengajar yang dipersyaratkan. Namun, belakangan ini-khususnya pasca keluarnya UU Guru dan Dosen-saya melihat pertumbuhan kuantitas guru secara signifikan. Tiba tiba guru (mungkin) menjadi profesi favorit. Salah satu indikatornya adalah membludaknya calon mahasiswa di Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK). Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu ketika saya menjadi mahasiswa di IKIP Bandung. Ada banyak kenalan yang sedikit mencibir kenapa masuk IKIP? Ingin jadi guru ya?

Sekarang tiba tiba berbalik. Agaknya hampir setiap lulusan LPTK dan mereka yang alumni jurusan non kependidikan ingin berprofesi guru. Mungkin karena benar benar pengabdian, tuntutan pekerjaan, atau karena kerasnya kebutuhan yang mesti dipenuhi. Walhasil, jumlah guru semakin membludak. Baik guru negeri atau yang swasta. Terlebih setelah diberlakukannya kebijakan sertifikasi bagi semua guru tanpa kecuali.

Sertifikasi adalah “mantra” populer. Semua guru ingin mereguk dan merasakan manisnya buah bernama sertifikasi. Tapi kita sering lupa bahwa sertifikasi selain erat kaitannya dengan kesejahteraan, juga membawa implikasi keprofesionalan dalam mengajar, agar kualitas pendidikan tak jalan di tempat.

Menengok sejarah pendidikan guru di masa silam, khususnya pada masa kolonial, saya melihat tak gampang sebenarnya untuk berdiri mengajar di depan kelas. Ada tahap tahap yang mesti dilalui dengan seleksi yang ketat. Dan tak semuanya lulus menjalani tahap tahap tersebut.

Sastrodarsono, salah satu tokoh dalam novel Para Priyayi­-nya Umar Kayam merasakan bagaimana sulitnya ia mencapai jabatan guru. Sebelum menjadi guru penuh, di tahun tahun pertama ia hanya menjadi guru bantu di sebuah desa bernama Ploso, itupun setelah ia menamatkan sekolah pribumi kelas II (Tweede Inlandse School) selama lima tahun yang kemudian disambung dengan Opleiding voor Volksschool Onderwijzers (OVVO) dengan masa pendidikan dua tahun.

Mereka yang tamat pada jenjang ini berhak mengajar di sekolah dasar 3 tahun atau Volksschool, sekolah paling rendah untuk kaum pribumi dengan bahasa pengantar bahasa daerah seperti Sunda, Jawa, Melayu, Bugis. Untuk mereka yang ingin mengajar di sekolah dasar 5 tahun, mereka mesti masuk pada Normaalschool dengan jangka waktu pendidikan selama empat tahun.

Siswa Normaalschool berkesempatan menikmati fasilitas asrama dan SD pribumi negeri untuk praktek lapangan mengajar. Tata krama dan perilaku seorang guru diinstitusionalisasikan secara tak main main. Mereka memang dipersiapkan secara serius untuk menjadi seorang guru yang benar benar profesional. Untuk menjadi seorang guru di tingkat menengah MULO setingkat SMP dan AMS setingkat SMA lebih tak mudah lagi. Jangan coba coba mengajar kalau tak mempunyai “MO Akte”.

Mochtar Buchori dalam bukunya Evolusi Pendidikan di Indonesia menjelaskan bahwa MO Akte adalah akte yang memberikan wewenang kepada pemiliknya untuk mengajar di Pendidikan Menengah yang terdiri atas Akta MO A dan Akta MO B. MO A untuk mengajar mata pelajaran tertentu di tingkat MULO atau HBS 3 tahun, dan MO B untuk mengajar bidang studi tertentu di tingkat AMS dan HBS 5 tahun.

Di Indonesia hanya menyediakan Akta MO untuk ilmu pasti yang diselenggarakan Technise Hogere School di Bandung dan Akta MO pelajaran Bahasa Inggris. Akta MO untuk ukuran sekarang mungkin semacam sertifikasi guru yang sedang gencar gencarnya dilaksanakan pemerintah.

Lebih lanjut Mochtar Buchori menjelaskan bahwa ujian ujian untuk mendapatkan Akta Mengajar MO A atau MO B terbilang sangat berat dan ketat. Ratusan peserta yang mengikuti ujian untuk menggondol Akta ini banyak yang jatuh berguguran dan gagal.

Setidaknya dua hal yang menjadi penyebab gagalnya peserta ujian yaitu kemampuan akademis yang sangat terbatas alias kurang, dan sikap para penguji yang cenderung menggunakan penilaian secara subjektif atas peserta ujian yang ingin menjadi guru sekolah menengah.

Maka bisa dipahami kalau kemudian para lulusan sekolah dasar dan menengah puluhan tahun lalu itu dianggap lebih berkualitas dan membanggakan. Minimal mereka cakap berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, dan lain lain. Contohnya jangan jauh jauh, para founding fathers negeri ini semisal Soekarno, Hatta, Natsir, dan Haji Agus Salim amat piawai dalam membaca dan menulis menggunakan bahasa bahasa tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline