Lihat ke Halaman Asli

Asep Imaduddin AR

Berminat pada sejarah

Panggung Musik Pagi Hari

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Selepas acara berita dan infotainment selesai, ibu ibu rumah tangga telah kembali lagi ke rumah setelah mengantar anaknya ke sekolah dan para pramuwisma segera menggelar ritual pagi membereskan setumpuk pekerjaan yang dibebankan oleh tuan, nyonya dan anak majikan.

Mengerjakannya dengan riang atau mengeluhkan beban pekerjaan yang makin berat dengan upah yang tak naik naik. Namun hidup mesti dilakoni walau terasa pahit.

Dengan segera beberapa televisi nasional menggelar-inilah yang ditunggu tunggu oleh inem sang pembantu-acara musik dengan format acara yang hampir sama.

Host berjumlah lebih dari satu, biasanya tiga orang, dengan yang satu biasanya menjadi bahan tertawaan. Ada segmen perbincangan telepon dengan pemirsa, walau saya sendiri tak yakin karena permintaan sang pemirsa di ujung telepon selalu dikabulkan oleh host dengan menampilkan band yang disebutnya. Sedikit kuis pemirsa dengan hadiah antara 500 ribu hingga satu juta rupiah. Dan terakhir dengan list band dan warna musik yang hampir sama. Oh ya, tak ketinggalan serombongan anak anak ABG berwajah imut imut (saya mesti menggunakan kata ini hehehehe..) yang berdiri di sekitar panggung dengan menampilan goyangan tangan-kaki ke kiri dan ke kanan.

Saya tak habis pikir dengan anak anak ABG ini yang menurut pikiran saya yang awam mestinya anak anak ini bukan menjadi penghias panggung musik di pagi hari melainkan duduk dengan manis di bangku sekolah, mendengarkan pelajaran dari guru atau melakukan praktek di laboratorium atau juga berlari di lapangan ke sekolah dihukum oleh guru karena kesiangan. Apakah ini tak terperhatikan? Entahlah.

Panggung musik yang berakhir menjelang siang hari itu, mau tak mau dan harus diakui adalah musik yang menjadi “mainstream”, bermajor label, dan didengar oleh hampir mayoritas masyarakat lewat media yang mudah dan murah untuk disaksikan: televisi.

Tema temanya pun berputar pada itu itusaja: C.I.N.T.A , perselingkuhan, putus nyambung, dan segenap bumbu bumbu yang tak jauh dari itu semua.

Lagu lagu yang mendayu dayu dan sebagian bahkan menyebutnya menye menye itu dimampatkan secara massif di televisi tanpa memperhatikan kualitas musik hanya rating belaka. Rating menjadi parameter yang tak bisa ditolak jika ingin tetap bertahan dalam bisnis televisi, entah itu sinetron atau musik.

Benar apa yang dikemukakan oleh Djaduk Ferianto dalam wawancaranya yang tersimpan di laman www.rollingstone.co.id bahwa “Tuhannya televisi itu rating, bukan kualitas musik”.

Yukie Martawidjaja, vokalis Pas Band-saya mendengar musiknya ketika semasih studi di sebuah pesantren di selatan Jawa Barat-dalam tulisannya di Majalah Rolling Stone Indonesia yang saya beli pada edisi Mei 2010, menyebut bahwa musik musik yang akhir akhir ini berjejalan di panggung musik pagi hari dan kemudian berakhir di RBT adalah sebuah monolog tentang musik yang tunggal. Tak ada keragaman, karena yang kita saksikan hanyalah keseragaman yang entah dipaksakan oleh selera pasar atau benar benar hanya itu yang dapat mereka buat.

Atau mungkin saja apa yang kita dengar belakangan ini menunjukkan bahwa memang seperti itulah “kualitas” dari pendengar mayoritas masyarakat di negeri ini. Berkisar dari berselingkuh, oleh cinta, dan untuk patah hati. Berputar putar pada itu itu saja dengan alasan yang klise “Ya, karena tema cinta itu memang sangat luas”.

Dan bahkan di panggung penghargaan musik pun yang menang ya mereka mereka yang wara wiri di televisi.

Ya, benar. Musik musik yang bertenaga dan merayakan keragaman memang tak ingin dan tak mungkin? ditake oleh kamera televisi komersial karena mereka tak mengikuti selera pasar. Mengikuti selera pasar adalah penyebab kehancuran dari sebuah idealisme bermusik yang telah ditanam sejak mereka memutuskan bermain musik.

Dan saya memilih untuk tak terlalu larut dengan mendengar panggung musik di pagi hari. Musik musik yang bertenaga dan merayakan keragaman-menurut saya-dapat menjadi tonikum yang menyegarkan sekaligus menafsirkan kehidupan yang memang plural ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline