Lihat ke Halaman Asli

Asep Imaduddin AR

Berminat pada sejarah

Kisah Pram dan Bang Ali

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir dua minggu tak memposting tulisan di Kompasiana, dan rasa rasanya seperti “mengkhianati” lapak yang telah diberikan secara gratis oleh admin pada saya.

Bukan karena saya sok sibuk dengan pekerjaan (mana ada sih orang yang nggak sibuk) melainkan lebih karena ketidakmampuan saya menulis dan ketiadaan ilham, padahal menurut (alm) Mochtar Lubis, wartawan dan sastrawan senior “Biasakanlah menulis setiap hari, jangan menunggu nunggu ilham yang tak keruan datangnya, dengan demikian kita bisa menyelesaikan roman di tengah kegiatan kita sehari hari”, atau dalam bahasa Omjay, seorang kompasianer senior “menulislah di Kompasiana sebelum tidur”.

Daripada menunggu nunggu ilham yang tak kunjung datang pada saya, diputuskanlah tulisan kali ini hanya mengetengahkan dua cerita yang saya temukan dalam bukunya Ajip Rosidi, seorang sastrawan senior asal tatar Sunda yang kini menetap di Pabelan. Bukunya sendiri bertajuk “Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari”.

Buku yang merupakan kumpulan tulisan beliau di beberapa media mengisahkan sejumlah kawannya selama bergumul di dunia sastra sejak tahun 1955-an (mudah mudahan tak salah). Kawan kawan Kang Ajip yang berdiri di sisi kanan atau kiri, radikal atau moderat, theis dan bahkan mungkin athesis.

Kang Ajip mengisahkannya dengan humanis, mungkin karena pernah dekat secara personal sehingga tulisannya menjadi “bernyawa”.

Ada dua tokoh yang ingin saya bagi ceritanya disini. Dua tokoh itu adalah Pram dan Bang Ali.

Pramoedya Ananta Toer mungkin tak asing bagi pecinta kesusasteraan. Sastrawan nomor wahid Indonesia yang berkali kali menjadi kandidat peraih Nobel Sastra ini di masa mudanya penuh getir merintis karir di bidang kepenulisan. Kang Ajip dalam bukunya ini menyebut Pram sebagai individualis tulen, dalam arti ia tak bisa dipengaruhi orang lain. Ia hanya melakukan apa yang ia anggap memang harus dilakukan.

Ada kisah dalam buku Kang Ajip ini yang menurut saya memang manusiawi.

Ajip menulisnya di halaman 6, “Pada suatu siang, ketika saya sedang asyik mengetik di ruang depan rumah yang saya sewa di Kramatpulo pintu diketuk orang. Waktu saya buka, yang nongol adalah kepala Pramoedya Ananta Toer yang berbisik dengan suara yang sangat dalam, “Kau ada nasi tidak? Aku sudah beberapa hari tidak makan!” Saya sangat kaget. Pram sedang menghadapi krisis keuangan, Maimunah diungsikan ke rumah mertuanya. Nasi ada, tetapi nasi dingin, dan tak ada lawuh nasi apa pun. Selama isteri saya pergi, saya makan di luar. Maka nasi dingin itulah yang saya sajikan kepada Pram, yang memakannya dengan lahap hanya dengan mentega. Telur pun tak ada!

Begitulah Ajip mengisahkan kawannya Pram yang sudah beberapa hari tak makan. Mungkin serupa Charlie ST 12-dalam pengakuannya di sebuah infotainment-ketika masih merintis karir menjadi musisi ia hanya bisa makan nasi tiga hari sekali bukan tiga kali sehari.

Beda Pram, beda Ali Sadikin atau biasa disebut Bang Ali. Ajip menyebutnya sebagai pembangun Jakarta. Bang Ali tak mungkin dilupakan orang, utamanya oleh warga Jakarta. Dialah peletak dasar pembangunan Jakarta menjadi kota yang modern lagi metropolitan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline