Lihat ke Halaman Asli

Asep Imaduddin AR

Berminat pada sejarah

(Sementara) Mas Lingga dan (Sedikit) Muhammadiyah

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_303619" align="alignleft" width="300" caption="sumber: logogaleri.blogspot.com"][/caption]

Dalam buku Islam Aktual, Kang Jalal-sebutan Jalaluddin Rakhmat-memberikan tips dalam menanggapi tulisan yang dibuat oleh orang lain. Katanya, dalam memberikan tanggapan dan atau menulis hendaknya memperhatikan logika dan literatur.

Dengan dua modal inilah sebuah tulisan akan terlihat kukuh dan mempunyai argumen yang meyakinkan sehingga sulit untuk menentukan dimana letak kesalahannya. Hilangnya salah satu dan atau malah keduanya akan membuat sebuah tulisan menjadi pincang dan rapuh. Logika tanpa literatur akan terlihat hampa, dan literatur tanpa logika adalah ngawur.

Apa yang saya lakukan adalah mencoba menanggapi tulisan orang lain dengan cara yang elegan, bukan dengan sumpah serapah di lapak orang lain yang boleh jadi akan menjadi pemicu pertumpahan kata kata yang menjurus kasar dan membuat sakit hati.

Postingan yang ditulis oleh (sementara) Mas Lingga berjudul “Sang Pencerah yang Tak Utuh Memberi Pencerahan (Ketika Agama Dijadikan Pasar)” memantik jemari saya untuk menanggapinya karena melihat beberapa kekeliruan utamanya dari segi fakta historis yang ditulisnya.

Fakta adalah sesuatu yang “suci” dalam bangunan sejarah. Seorang sejarawan mungkin bisa berbeda tafsir dalam menginterpretasi fakta sejarah namun seorang sejarawan pantang untuk berbohong dalam mengungkap sebuah fakta. Umumnya, berbohong dalam segala hal adalah tak boleh kan, bukankah begitu?

Tulisan Mas Lingga yang bertitik tolak pada Film Sang Pencerah besutan Hanung Bramantyo yang mengupas jejak langkah KH. Ahmad Dahlan, akhirnya merembet pada pendirian organisasi Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan bersama teman temannya di Kauman dibantu beberapa orang kawan Kiyai Dahlan yang aktif di Budi Utomo.

Dalam paragraf kelima, (sementara) Mas Lingga menulis, “Telah sama-sama (belum sama-sama) kita ketahui bahwa Ahmadiyah sendiri adalah Muhammadiyah. Pada zaman kolonial, Muhammadiyah dilarang berkembang ke daerah lain. Organisasi Muhammadiyah hanya boleh ada di Yogyakarta. Untuk menyiasatinya Ahmad Dahlan menyuruh agar cabang-cabang Muhammadiyah di daerah-daerah membentuk nama masing-masing. Hingga terbentuklah Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyahdi Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah (wikipedia)”.

Bagi saya ini tentu saja keliru dan gegabah karena menyamakan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Benar bahwa Nabi Muhammad Saw disebut juga sebagai Ahmad sebagaimana termaktub dalam Surah As Shaf. Namun, dalam hal kedua nama organisasi ini tentu saja jauh tanah ka langit.

Fakta historis menunjukkan bahwa Ahmadiyah adalah produk luar negeri yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad-koreksi jika salah-di Lahore Pakistan. Kalau tak salah, Ahmadiyah masuk ke Indonesia sekitar tahun 1923-an. Tentu saja berbeda dengan Muhammadiyah yang merupakan produk lokal, didirikan oleh seorang kiyai asal Kauman yang bernama Ahmad Dahlan yang bernama kecil Muhammad Darwis. Ahmad Dahlan yang pernah memangku jabatan khatib amin di Masjid Besar Kauman berikhtiar bersama sahabat sahabatnya dalam mendirikan organisasi yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial, dan kesehatan. Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912.

Masih di paragraf tersebut, (sementara) Mas Lingga menyebutkan Muhammadiyah dilarang keluar dari Yogyakarta. Benar bahwa di awal awal pendiriannya Muhammadiyah dilarang disebarluaskan oleh pemerintah kolonial dengan alasan politis karena beberapa anggotanya rangkap dengan Budi Utomo dan Sarekat Islam.

Di awal pendiriannya, Kiyai Dahlan mengajukan bahwa anggota Muhammadiyah akan meliputi Jawa dan Madura, namun permohonan ini tak bisa dikabulkan karena pemerintah kolonial menganggap akan berbahaya jika Muhammadiyah diberi kewenangan merekrut anggotanya se Jawa dan Madura.

Dalam buku Muhammadiyah yang ditulis oleh Alfian, bahwa pada tanggal 21 April 1913, Leifrinck, residen Yogyakarta telah menyampaikan tembusan pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda AWF Idenburg tentang Muhammadiyah. Idenburg setuju hanya saja “Jawa dan Madura” mesti diganti dengan bahwa Muhammadiyah hanya terbatas di teritori Yogyakarta. Itu pun tak berlangsung lama hanya sembilan tahun, karena pada tahun 1921 Muhammadiyah diberikan izin untuk beroperasi di luar Yogyakarta.

Dengan demikian jelaslah bahwa Muhammadiyah dengan Ahmadiyah itu berbeda. Muhammadiyah tak menyentuh wilayah teologis dalam artian rukun iman-islam sama dengan NU, Persis, dll. Sedangkan Ahmadiyah-katanya-kenapa diributkan karena Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi terakhir menurut versi mereka bukan Rasulullah Muhammad Saw. Dan saya sendiri tak setuju kalau cara kekerasan ditimpakan pada pada kaum Ahmadi.

Oh ya, mengenai film Perempuan Berkalung Sorban sebaiknya (sementara) Mas Lingga membaca dulu novelnya yang ditulis oleh Abidah El Khaliqy, seorang sastrawati yang concern terhadapa nasib nasib perempuan yang ditindas dengan dalil dalil agama.

Scene Nisa di kelas, bioskop, dan ranjang yang diperankan Revalina S. Temat bagi saya hanyalah ingin menggambarkan sebuah fenomena bahwa begitulah sebagian nasib perempuan yang ditundukkan oleh argumen ayat yang seringkali tidak kontekstual. Pada titik inilah sang penulis novel Abidah dan sutradara Hanung Bramantyo menuliskn dan menafsirkan sebuah ironi.

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline