Lihat ke Halaman Asli

Asep Imaduddin AR

Berminat pada sejarah

Telegram dari Musollini

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_153965" align="alignleft" width="264" caption="sumber: bajurtov.wordpress.com"][/caption]

Andreas Escobar mungkin tak menyangka, akibat ulahnya melakukan gol bunuh diri ketika Kolombia melawan Amerika Serikat akan menjadi petaka maut bagi dirinya. Di luar lapangan sepak bola resmi, tepatnya di meja taruhan, kecerobohan Escobar mengubah peta bandar. Dan 2 Juli 1994 adalah hari naas dan salam perpisahan baginya. Sekeluarnya dari El Indio Bar ia ditembak oleh orang yang tak dikenal dan orang orang segera menghubungkannya dengan insiden bunuh diri yang dilakukan Escobar.

Escobar adalah tumbal. Ia mungkin menjadi target para mafia yang kalah di meja taruhan skor pertandingan tersebut. Escobar mungkin merasa bahwa ulahnya itu biasa biasa saja dan tak perlu diributkan sebegitu rupa, tetapi Escobar mungkin lupa bahwa permainan tak hanya terjadi di stadion dimana bola dioper-disepak kesana kemari, permainan juga berlangsung di luar stadion yang melibatkan banyak pihak yang menginginkan kesebelasan yang dipasangnya menang dengan cara apapun, kalau kalah, maka mereka akan kehilangan dollar yang dipertaruhkannya.

Itulah sepak bola, ia tak sekedar permainan belaka yang dilakukan 22 orang. Ia juga adalah sebentuk komoditi yang menggariskan untung-rugi sebagai kiblat utama. Lihatlah berapa banyak sponsor yang digaet oleh FIFA dalam perhelatan akbar empat tahunan ini, dan lihat pula setiap negara berlomba lomba ingin menjadi tuan rumah Piala Dunia. Dan bagaimana pula dengan stasiun TV yang mungkin saja saling sikut ingin mendapatkan hak siar semua pertandingan Piala Dunia. Semuanya di bawah kendali bisnis menggiurkan dari setiap narasi sepak bola yang terceritakan dan tak terceritakan.

Sepak bola juga adalah gengsi, wibawa, dan penentuan muka agar tak tercoreng malu. Dalam tingkat paling ekstrim, mungkin makian dan cacian yang diterima. Sedikit memori mungkin bisa diputar tahun 1994-kalau tak salah-ketika Roberto Baggio gagal menyarangkan bola adu penalti melawan Brazil di partai final, sontak Brazil bersorak sorai, Baggio tertunduk malu dan publik Italia dengan segera mencacinya, atau David Beckham yang dengan ulah kakinya ketika melawan Argentina menjadi bulan bulanan pers Inggris akibat tindakannya yang tidak simpatik itu. Jangan lupa empat tahun yang lalu ketika Italia dan Perancis bertemu di final, tandukan Zidane ke Matterazi dianggap kesalahan yang tak termaafkan oleh publik sepak bola, walau pada akhirnya semua mafhum atas ulah yang dilakukan Zidane.

Pertaruhan muka dan wibawa itu tidak saja berlaku bagi para pemainnya melainkan juga atas nama bendera dari sebuah negara yang disandangnya. Sepotong kisah sepak bola klasik puluhan tahun yang silam mengingatkan akan hal itu.

Narasi ini terjadi tepatnya tahun 1938 ketika Piala Dunia berlangsung di Perancis yang diikuti oleh 15 negara. Beberapa negara di Eropa membatalkan keikutsertaan dalam ajang ini karena suhu politik di Eropa yang mendidih akibat invasi yang dilakukan oleh Jerman dengan NAZI-nya. Keadaan politik yang tak menentu inilah yang menyebabkan Piala Dunia kali ini hanya diikuti oleh sedikit negara. Eropa memang sedang dalam siaga satu menghadapi kemungkinan perang yang sudah mulai ditabuh oleh Hitler dan sekutunya Musollini. Adolf Hitler dari Jerman dan Benito Musollini dari Italia. Fascisme sedang naik daun di bawah kendali dua diktator yang terkenal kejam ini.

Tim Italia berangkat ke Perancis dengan diarsiteki yang sama ketika mereka menang di negaranya sendiri, Vittorio Pozzo. Italia yang ditukangi Pozzo diantaranya membawa Giuseppe Meazza, Giovanni Ferrari, Silvio Piola, dan Gino Colaussi. Mereka inilah yang diharapkan oleh Musollini untuk merebut kembali tahta juara mengulangi memori 1934, dan jangan lupa Italia juga meraih emas sepak bola di olimpiade 1936.

Titah Musollini adalah sebuah kemestian yang tak boleh diabaikan. Kesebelasan Italia mungkin tahu persis jika seorang fascis macam Musollini tak dipatuhi perintahnya. Untunglah Pozzo seorang arsitek tim brillian. Ia berhasil membawa Italia ke final dan mesti berhadapan Hongaria. Sesaat sebelum peluit final ditiup tanda mulai, secarik telegram datang dari Musollini. Isinya pendek saja namun membikin panas dingin yang membacanya, "Vincere o morire!" (Menang atau mati!).

Takdir sedang berpihak pada Italia. Mereka sukses mempecundangi Hongaria dengan skor 4-2. Syukurlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline