Lihat ke Halaman Asli

Asep Imaduddin AR

Berminat pada sejarah

Neplak, Will to Exist

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_120277" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Kosakata Sunda mengenal istilah niron yang bersinonim dengan menyontek dalam Bahasa Indonesia, dan neplak untuk kata menjiplak. Semasih kecil dulu, saya suka neplak gambar yang tertera pada mata uang logam. Uang logam di bawah dan kertas diatasnya, lalu goreskanlah pensil pada kertas tersebut, maka timbullah gambar yang persis sama dengan apa yang ada dalam uang logam itu. Pengalaman Sartre lain lagi.

Jean Paul Sartre-filosof eksistensialis asal Perancis-dalam bukunya Kata Kata (Les Mots) pernah membuat pengakuan tentang aktivitas menulis yang mulai dilakoninya semasa kecil. Ia menulis bahwa “Novel pertama yang kukarang sampai selesai kunamakan “Pour un Papilon” ‘Demi Kupu Kupu’ Seorang ilmuwan, putrinya, dan seorang penjelajah muda nan atletis berlayar ke hulu Sungai Amazon untuk mencari kupu kupu langka. Tema, tokoh tokoh, detail petualangannya, dan bahkan judul pun telah kupinjam dari sebuah cerita bergambar yang telah terbit tiga bulan sebelumnya. Plagiat yang memang disengaja itu membebaskan sisa kegelisahan yang masih ada pada diriku: semuanya pasti benar, sebab aku tidak menciptakan apa apa. Aku tidak berambisi menerbitkannya, tetapi aku telah mengatur semua, supaya karya yang aku tulis terbit dahulu dan aku tidak menulis satu baris pun yang tidak ada dalam karya aslinya”.

Keisengan Sartre pada masa itu adalah tingkah seorang bocah polos yang baru saja belajar menulis dengan cara mengkopi buku yang telah dipublikasikan sebelumnya. Tentu saja Sartre kecil melakukannya dengan riang gembira dan mungkin pula ia waktu itu tak terlalu paham dengan apa yang disebut sebagai plagiarisme atau plagiat.

Kadarnya, tentu saja tak bisa diperbandingkan dengan penulis pemula dan apalagi penulis kawakan. Penulis pemula yang melakukan plagiat didorong oleh ketenaran dan uang, sementara, penulis kawakan yang (pernah) berplagiat dikemudikan oleh keinginan menjaga eksistensi dengan cara yang tergesa gesa dan maunya serba cepat. Antropolog Koentjaraningrat menyebutnya sebagai orang yang mempunyai mental menerabas. Keduanya berpredikat tak berbeda, sama sama disebut plagiator.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan plagiarisme sebagai penjiplakan yang melanggar hak cipta, sedangkan plagiat dalam istilah KBBI diartikan sebagai pengambilan karangan orang lain dan menjadikannya seolah olah karangan sendiri. Pada awalnya, sekali dua kali seorang plagiator akan lolos. Tapi, mungkinkah akan lolos seterusnya? Minimal rasa bersalah itu ada, ia akan dikejar oleh bayangannya sendiri karena perbuatan yang dilakukannya.

Di negeri ini selalu saja terjadi peristiwa plagiarisme yang kemudian menjadi heboh dimana mana, diulas di media massa dan ramai diperbincangkan di dunia maya. Awalnya hanya gosip semata selanjutnya menjadi fakta yang riuh rendah diperbincangkan. Tetapi sayang, hal itu cuma menjadi buah bibir sekejap tanpa ada solusi dan tindak lanjut untuk mencegahnya.

Dunia pendidikan kita pernah dihebohkan oleh ulah ribuan guru di sebuah provinsi di luar Pulau Jawa yang ketahuan melakukan plagiarisme terhadap karya tulis yang diajukan untuk mendapat tunjangan profesi. Tak ayal dinas pendidikan di provinsi tersebut berang dan kemudian memberi sanksi pada ribuan guru tersebut untuk mengembalikan tunjangan dan menurunkan pangkatnya. Guru yang mestinya menjadi teladan terjebak oleh ketergesaan yang menggiurkan sehingga lupa akan pesan moral yang pernah diwartakan pada anak muridnya.

Telusur media massa mengabarkan bahwa pelaku plagiarisme ternyata bukan hanya dilakukan oleh guru yang mengajar di sekolah tingkat dasar dan menengah, melainkan juga dilakukan oleh maha guru dan calon maha guru di tingkat perguruan tinggi yang lebih paham apa artinya sebuah etik akademik. Paham saja ternyata tak cukup, mesti dibarengi dengan benteng moral kuat yang disimpan dalam diri bahwa plagiarisme adalah sebentuk kejahatan akademik karena melakukan kriminalisasi karya orang lain yang diklaim menjadi karya sendiri.

Etik akademik menyebutkan bahwa tindakan plagiarisme sama saja dengan perilaku mencuri, dalam konteks ini objek yang dicuri adalah karya dan ide milik orang lain. Ia mungkin lupa atau pura pura lupa bahwa apa yang dilakukannya telah mencederai kultur akademis yang menjunjung tinggi orisinalitas. Kejujuran dan orisinalitas karya adalah hal penting yang mestinya menjadi perhatian kita yang berkecimpung di alam pendidikan.

Harus sejak dini dikemukakan oleh guru pada anak didik kita tentang apa artinya kultur etik akademik sehingga kelak di kemudian hari wajah dunia pendidikan di Indonesia tak lagi coreng moreng dengan sesuatu yang memalukan.

Meminjam istilah Nietzsche yang melansir will to power maka plagiat bisa dikatakan sebagai will to exist dalam pengertiannya yang negatif.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline