Sejak dari hari kemarin siang, sekitar pukul 12, sebelum Dzuhur, hujan turun secara berangsur-angsur, dan reda sesaat sebelum adzan Ashar. Suhu dingin pun terasa. Kini menjelang sahur keempat, hujan turun kembali. Tidak ada suara tabuh "sahur-sahuran" para anak kecil yang terdengar berisik tapi asik. Hujan pun membuat mereka menepi kedinginan tak bersuara.
Masih menjelang sahur, segera menyiapkan makanan sisa kemarin buka, ada tempe goreng, sambal goreng, kerupuk, dan sayur asam. Entah, hari kemarin itu terpikirkan membuat sayur asam terlintas dengan tiba-tiba. Ia muncul sebab cuaca mempengaruhi pikiran, pikiran mempengaruhi kebutuhan perut, dan perut memungkinkan menyantapnya. Dan perlu diingat pula, syahwat perut orang yang berpuasa itu diuji. Maka dibuatlah sayur asam perdana, walau pakai bumbu racik instan, karena kepepet jam buka.
Maka cara melogikakanya adalah dari premis mayor: karena cuaca hujan dan dingin, premis mayor: maka harus membuat sayur yang hangat dan segar, konklusinya: Sayur Asam. Mungkin itu sederet pikiran yang mengangan kemarin sore.
Akhir malam adalah sahur, dan waktu pagi adalah Subuh. Menjelang kumandang adzan hujan reda kembali. Orang-orang yang bersiap-siap salat subuh ke masjid menanggalkan payung atau jas hujannya. Namun disela menunggu waktu subuh, tiba-tiba ada suara seorang tua mengumandangkan adzan pukul 04.34 WIB, padahal dalam kalender almanak seharusnya pukul 04.38 WIB. Sekurangnya ada 4 menit tersisa, dan saya pilih menunggu adzan yang pukul 04.38 WIB, lumayan tiga atau empat kepul asap lagi yang harus membumbung.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah tanda batas sahur dan berbuka itu terdengarnya kumandang adzan Subuh dan Maghrib atau tepat pada waktu jamnya?
ASA/15/3/2024