Berpuasa pada kurun waktu tahun 80-90 an sangat berkesan. Masa kanak-kanak menuju remaja, kisaran kelas 5 ata 6 SD sangat tak terlupakan. Mainan pada zaman itu berbeda dengan mainana anak sekarang. Karena keterbatasan bahan dan teknologi menengah kala itu. Mainan pun dibuat sederhana dan dengan teknologi sederhana, lebih mengedepankan keterampilan. Untuk membuat mainan mobil-mobilan misalnya, saat itu terbuat dari bahan bambu, sendal jepit dan karet gelang sebagai pengikat. Dari bahan-bahan tersebut, kami merangkainya menjadi sebuah 'momobilan' atau mobil-mobilan bambu. Di kampung kami menyebutnya 'momobilan. Karena kultur di tanah sunda memang berbahasa sunda. Cara pembuatannya, pertama mencari bahan dasar utama yakni, sandal jepit yang sudah tidak terpakai untuk bahan dasar ban mobil-mobilan tersebut. Selanjutnya dibuatkan lingkaran dengan ukuran yang sama besar, kemudian dipotong sesuai ukuran yang diinginkan, biasanya dibuat 4 atau 6 buah. Jika ban depan masing-masing satu, dan ban belakang dua, maka semuanya membutuhkan 6 buah ban. Kedua merakit badan 'momobilan dengan bahan dasar bambu yang sudah dipotong-potong sesuai ukuran badan dan 'sasis' yang di inginkan. Membuat as roda dan menancapkan roda depan dan belakang. Kemudian dibuat potongan bambu memanjang ke atas untuk pegangan. Semacam kendali atau setir yang dipegang memanjang keatas. Hal itu berguna untuk mengendalikan momobilan saat hendak belok kiri dan kanan dengan kendali satu tangan. Untuk lebih berbobot dan terkesan 'ampeg, atau berbobot, kami dengan teman-teman biasanya meletakkan kaleng bekas susu kemasan atau kaleng yang lebih besar di atasnya. Maka selesailah proses pembuatan mobil-mobilan hasil kreatifitas sendiri. Siap untuk dipacu bersama teman-teman sepermainan. Ketika siang atau sore hari, biasanya kami bekonvoi ria dengan teman sekampung mengelilingi lingkungan sekitar kampung untuk ngabuburit. Istilah Ngabuburit sekarang sudah menjadi bahasa yang populer dan membumi di Indonesia. Ngabuburit dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti ngelantung, ngadagoan burit, atau bermain sambil menunggu waktu sore. Asal kata ngabuburit dalam bahasa sunda dari kata dasar burit. Seperti dikutip dari Republika online, yaitu waktu sore, senja, menjelang azan maghrib atau menjelang matahari terbenam. Kata ngabuburit sudah menjadi kata serapan kedalam bahasa indonesia, seperti yang ditututurkan Dr.Wahya. Kata 'ngabuburit' menjadi khazanah kekayaan bahasa yang asalnya dari bahasa sunda.
Barter Segelas Beras dengan Semangkuk Bubur Kacang
Adalah mang Samyi, Nama seorang pedagang bubur kacang keliling di kampung kami. Pria paruh baya yang sudah memasuki usia 50 tahun lebih ini rajin berdagang keliling kampung menjajakan bubur kacang buatannya. Biasanya mang Samyi, 'transit' di dekat rumah kami habis tarawih. Rasa gurih dan air nya yang agak kental ditambah air santan kelapa menambah cita rasa khas bubur kacang bikinan mang Samyi. Ketika uang jajan habis, saya dan rekan-rekan sesama pasukan bermain atau santri, biasanya menukar satu porsi bubur kacang dengan satu gelas beras. Ya, kenangan itu masih lekat dalam memori. Ada rasa geli, sedih bercampur aduk jika ingat kejadian itu. Betapa terbatasnya uang jajan saat itu. Kami berempat saudara. Satu perempuan, sulung, dan tiga kaka laki-laki. Sebenarnya kami tujuh bersaudara. Tapi tiga orang sudah dahulu meninggal dunia. Konon menurut orang tuaku, kedua kakaku meninggalnya sewaktu bayi. Kalau kakak ketiga masih ingat ketika kelas enam Sekolah Dasar, karena kecelakaan sewaktu pulang berenang dikali. Waktu itu mungkin aku masih duduk di kelas dua atau tiga Madrasah Ibtidaiyah.
Maka memori ketika keinginan untuk 'menikmati' seporsi bubur kacang legendaris mang Samyi, harus dibarter dengan segelas beras tak pernah terlupakan. Sejujurnya, dalam hati, saat itu ada rasa malu. Malu karena, kadang-kadang kulakukan jika kepepet banget. Kadang-kadang aku menukarnya tanpa sepengatahuan orang tuaku. Tujuanku menjaga 'marwah' dan harga diri keluarga. Atau aku tidak mau berterus terang bahwa uang jajanku habis. Tidak rutin seperti itu, tapi jika keadaaan'darurat jajan saja'. Dengan sistem barter itu, kelihatannya Mang Samyi kala itu, senang-senang saja. Bahkan dengan ciri khasnya, sambil senyum dikulum ia melayaninya dengan enjoy. Asumsiku, mungkin hal itu menguntungkan juga bagi dia. Saling membutuhkan dan menguntungkan kedua belah pihak. Seperti simbiosis mutualisme. Yang satu dengan yang lainnya tidak ada yang dirugikan. Bahkan mungkin saling memberi manfaat. Seperti burung yang mematuki kutu-kutu di badan seekor kerbau. Kerbaunya untung dibersihkan oleh burung dari kutu-kutu yang bersarang dipunggungnya, sementara burung mendapat manfaat dari makanan sebagai santapan lezat yang ada di atas punggung kerbau. Asik bukan, ? Nah lho?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H