Lihat ke Halaman Asli

Cinta Seorang Santri

Diperbarui: 23 Maret 2023   17:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lika-liku hidup di pesantrean zaman ‘baheula, sangat mengesankan. Mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Selalu menjadi cerita dan kesan tersendiri. Menjadi sebuah  cerita. Santri milenial yang hidup dizaman sekarang dibandingkan dengan santri dibawah Tahun 90 an jauh berbeda. Dari substansi aktifitas keseharian dan metode  pengajian juga sekolah mungkin ada persamaan. Tapi dalam cara dan gayanya yang  berbeda. Bahkan dalam cara berpakaian pun sudah jauh berbeda dengan santri zaman dahulu. Ciri khas sarung dan peci bagi santri laki-laki adalah menjadi ‘trade-mark’nya seorang santri putra atau ikhwan. Santriwati atau akhwat, lekat dengan busana muslim yang baju gamis dipadu dengan samping atau sarung perempuan khusus dengan jilbab atau kerudung yang panjang. Santri zaman now, apalagi yang mengusung pesantren modern, laki-laki berbaju putih, celana panjang hitam dan berjas, berdasi pula. Seperti konsep di pesantren-pesantren modern. Pondok Pesantren Gontor Jawa Timur adalah salah satu pesantren modern yang ditiru oleh para banyak alumninya. Mereka mengadopsi metodologi pembelajaran di pesantren itu, dengan ciri khas pengebangan kebahasaan. Bahasa Arab dan Inggris menjadi pokok di pesantren-pesantren yang dikelola alumni Gontor ini. Para alumninya menyebar diseluruh pelosok tanah air.

Santri zaman dulu? Cukup sarungan dengan peci hitam dan baju bersih sopan. Diutamakan lengan panjang jika sedang mengaji. Seragam adalah hal yang langka dan isimewa saat itu. Ciri khas pesantren  lainnya adalah ‘ngaliwet’. Kebiasaan ngaliwet adalah  menanak  nasi dengan alat menanak' kastrol ' yang berasnya adalah urunan dari para ‘pemasok modal’, yang mau ikutan makan bersama. Biasanya satu ‘entik’ kami menyebutnya, atau satu gelas perorang. Jika kapasitas kastrol untuk 5 orang maka akan terkumpul 5 entik beras untuk dimasak bersama-sama atau diwakilkan kepada relawan sebagai  juru masak, yang masih teman seasrama. Lauk pauknya? Jangan membayangkan rendang daging sapi atau goreng ayam. Cukup sambal dadakan dan lalaban plus ikan asin atau peda merah sebagai lauk-pauk utama. Lalabannya berupa pucuk singkong, dan pohon imba, dari hasil memetik dikebun dekat kuburan di lingkungan pesantren atau yang ditanam didepan rumah kyai. Daun pucuk  singkong dan pucuk imba ini adalah menu  favorit sebagai teman sambal dadakan yang rasanya agak asin, dan manis, dipadu sambel terasi yang gurih, pedas dan mengenyangkan saat itu. Menu diluar itu, adalah hal yang istimewa. Jarang bertemu dengan barisan lauk elit, seperti;  ikan, ayam,  sayur, dan lain-lain. Cara  menghidangkan makannya adalah dengan alas daun pisang yang diamparkan terbalik. Nasi liwet yang masih panas langsung ditebar secara merata  di atas daun pisang, disusul dengan lalaban yang ditaruh di atas nasi liwet. Sambel beserta ikan asin plus sambel dadak diletakkan dipinggir-pinggir nasi sesuai ‘ kekuasaan ’ tempat duduk masing-masing.

Nisa sedang duduk di teras rumah belakang sambil minum teh. Dia adalah alumni pesantrean Al-khairiyyah, tahun 1988. Dia bercerita kepada anaknya yang duduk di kelas  9 SMP yang sudah beranjak remaja.

“Mamah ketemu sama ayahmu di pondok pesnatren itu..” Nisa membuka percakapan.

“ ooh jadi cinlok gitu ya mah?” Arini penasaran.

“ iyya kan Mamah jadi murid Papah waktu itu. Jadi sering ketemu dipengajian. Dan ayahmu itu, sering menyuruh Mamah untuk mengulang bacaan kitab. Istilahnya sorogan kitab yang diajarkan beliau..”

“ Siapa yang naksir duluan Mah?" tanya Arini bersemangat.

“ ya Papah laah...he he..” jawab Nisa.

                Nisa dan Ahmad berjodoh ketika keduanya lagi mondok di pesantren itu. Kini ia hidup bersama dengan keluarga yang dikarunia 3 orang anak yang sudah beranjak remaja dan dewasa. Ayah dari ketiga anak ini adalah santri senior yang sudah lama mondok. Ia menjadi salah satu staf pengajar atau Dewan Santri yang dipercaya membantu kelancaran jalannya kegiatan di pesantren. Hingga suatu ketika, datang murid baru, santriwati bernama Nisa yang punya paras putih dan cantik. Ahmad yang ketika itu menjadi salah satu guru sorogan kitab Nisa terpesona. Ustadz yang bersuara nyaring ini, tertarik dengan Nisa, seorang santri baru nan lugu yang menjadi santriyah di pesantren yang kecil itu.

Lengkaplah kebahagiaan Ahmad ketika itu. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Cinta Ahmad terbalaskan. Ia tak bertepuk sebelah tangan. Dibanyak kesempatan, Ahmad selalu menyuruh Nisa membacakan kembali hasil ‘ngalogat’ yang bacakan dihadapan santri asuhannya. Tradisi ngalogat adalah kegiatan menyimak bacaan yang dipandu oleh kyai atau ajengan atau ustadz dengan seksama. Para santri mengikuti sambil menandai dan menerjemahkan dengan menuliskan kata atau kalimat-kalimat enting dengan tulisan arab sunda dibagianbawah kitab kuning. Lengkap dengan tanda-tanda atau kode-kode khusus sebagai i’rab atau kedudukan kalimah dalam kitab tersebut. Dengan begitu para santri dilatih menerjemahkan sekaligus belajar memahami isi kitab dengan syarahnya atau penjelasannya, yang biasanya posisinya ada ditengah kitab kuning.

                   Istilah kitab kuning itu sendiri, sebenarnya tidak mutlak berupa kitab yang berwarna kuning semata. Tapi istilah dikalangan pesantren yang sebenarnya, saat ini kitab rujukan tidak hanya berwarna kuning. Tapi memang dulu kebanyakan kitab-kitab cetakannya dengan kertas berwarna kekuningan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline