Pemilu 2024 sebentar lagi terlaksana, gembor-gembor calon kontestasi Pemilu pun sudah mulai nampak terlihat berbagai partai politik sudah mulai memusyawarahkan siapa yang akan mewakili partai dalam kontestasi nanti, dan ada pula yang sudah memilih calon yang akan di usung, sebagaimana koalisi perubahan yang terdiri dari partai Nasdem, PKS, dan, Demokrat yang sudah menentukan dukungan kepada Anies Baswedan sebagai Calon Presiden 2024, sehingga Anies merupakan satu-satunya calon yang sudah memenuhi syarat Threshold pilpres 2024, karena di dukung tiga partai yang memenuhi syarat suara sebagaimana Pasal 222 UU 2017 tentang Pemilu yang berbunyi.
"Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya".
Dimana pada Pemilu 2019 NasDem mendapatkan suara 12.661.792 (9,05 persen), PKS: 11.493.663 (8,21 persen), dan Demokrat: 10.876.507 (7,77 persen). Sehingga gabungan tiga partai ini sudah mencapai 25,03% dari suara sah nasional Pemilu Legislatif 2019. Sebagaimana di kutip dari kontan.co.id.
Menarik ditunggu siapa lagi calon-calon yang akan di usung oleh partai politik lainnya dalam kontestasi di pemilu 2024 kelak.
Dalam kontestasi politik di Indonesia kerap kali menghasilkan polarisasi dalam masyarakat. Polarisasi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pembagian atas dua bagian. Namun apabila kita tarik kepada konteks politik polarisasi sebagaimana di kutip dari Tempo.co merupakan dua kelompok yang memiliki pandangan dan pemahaman yang berbeda secara politik.
Polarisasi politik kerap terjadi karena pada masa kampanye para kandidat sering kali menyuarakan sesuatu yang terkait dengan persamaan identitas, hal tersebut dilakukan untuk meraih dukungan dari masyarakat yang merasa memiliki persamaan identitas. Sebagaimana menurut Karim, A. G. Dalam tulisannya di Politika: Jurnal Ilmu politik, yang berjudul Mengelola Polarisasi Politik dalam Sirkulasi Kekuasaan di Indonesia: Catatan bagi Agenda Riset.
"Polarisasi politik dapat muncul karena faktor identitas, akan tetapi lebih berfokus pada faktor lainnya, yaitu persepsi atas pengelolaan kekuasaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi munculnya polarisasi ialah Identitas".
Polarisasi muncul karena faktor identitas, politik di Indonesia tidak pernah lepas dari faktor tersebut, hal itu disebabkan karena bangsa Indonesia yang memiliki beragam etnis, ras, agama, dan lain-lain, serta orang Indonesia yang terkenal fanatik terhadap sesuatu yang mereka ikuti. Maka melihat fenomena tersebut banyak politisi yang memanfaatkan hal itu untuk meraih dukungan dalam kontestasi politik dengan tujuan memenangkan suara sebanyak-banyaknya agar menang dalam kontestasi, dan pada akhirnya bisa mendapat kekuasaan. Setelah mereka berhasil mendulang suara dengan memecah-mecah masyarakat terkadang setelah mendapat kekuasaan mereka abai terhadap perpecahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga di masyarakat sendiri satu sama lain saling membenci karena perbedaan pilihan saat kontestasi terjadi.
Identitas yang sering digunakan dalam kontestasi politik adalah identitas agama. Agama acap kali dijadikan alat untuk mendulang suara. Biasa kita bilang bahwa hal tersebut disebut sebagai politik identitas, namun masih banyak yang memperdebatkan perihal politik identitas ini. Adapun politik identitas yang berbasis agama sebagaimana dikutip dari laman Kemenag mengenai Kepahlawanan dan politik identitas yang di tulis oleh Yaqut Cholil Qoumas bahwa politik identitas berbasis agama merupakan suatu gerakan yang menjadikan agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan.
Bentuk dari politik identitas berbasis agama masih menurut Yaqut Cholil Qoumas seperti jual beli ayat, komodifikasi agama, ujaran kebencian, kampanye hitam, fitnah, dan intimidasi lawan politik dengan menggunakan argumen keagamaan. Sering pula terjadi janji-janji pembangunan tempat ibadah, madrasah, pesantren, makam, dan lain-lain. Serta label-label seperti kafir, neraka, pelaku bidah, dan bahasa-bahasa yang kurang mengenakan pun sering kali muncul kepada mereka yang berbeda pilihan.