Lihat ke Halaman Asli

Asep Ariyanto

Penulis Lepas Koran Kompas

Sang Pengamen Jalanan

Diperbarui: 26 Oktober 2020   12:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kuku yang biasa kugunakan untuk memetik senar gitar kini sudah mulai memanjang dan menampakkan setumpuk kotoran disana. Kotoran yang tampak lebih kotor dari setumpuk sampah di jalanan Ibu kota ini. Ku taruh gitar kecilku yang selalu menemani di setiap pagi dan siangku. Ku hitung receh demi receh yang berhasil kukumpulkan, berharap cukup untuk membeli sebungkus nasi dan segelas air minum untuk mengisi perutku dan adikku yang sedari tadi pagi sudah rewel tak terisi makanan.

Setelah membeli makanan, aku memakannya dengan berbagi separuh dengan Reza, adikku satu-satunya. Tiga tahun yang lalu, orang tua kami memiliki sebuah perusahaan besar, tapi karena di tipu habis-habisan oleh seorang investor nakal, maka raiblah semua harta benda kami. Tak ada sepeserpun uang yang bisa kami genggam. Dan satu tahun yang lalu, Ayah meninggal. Di susul dengan Ibu yang berangkat untuk mengadu nasib di luar negeri sebagai TKW. Meninggalkan kami berdua. Tapi sampai saat inipun tak ada kabar akan kembalinya Ibu. Sempat ada kabar angin bahwa Ibu sudah meninggal. Tapi entahlah, kebenarannya hingga saat ini belum aku ketahui.

Setelah menghabiskan makanan ini ditemani deru kendaraan bermotor dan asap-asap mengepul dari kenalpot, kami bergegas tidur beralaskan sebuah kain lusuh dan sobek di sana-sini termakan usia. Keesokan paginya, kami terbangun karena tetes-tetes dingin air hujan yang mulai membasahi kulit. Namun hal itu tak menyurutkan semangat kami untuk tetap mencari walau hanya sekedar recehan untuk bertahan hidup. Dan sampailah aku disebuah bus yang penuh sesak, aku melihat beberapa murid kelas 3 SMP sebayaku membaca buku dengan asyiknya. Miris rasanya, melihat anak seusiaku dapat melanjutkan mengenyam pendidikan dan berbagai ilmu pengetahuan untuk masa depannya kelak. Tapi apa daya, untuk biaya makan saja kami masih kesulitan, apalagi di tambah untuk biaya sekolah. Adikku pun begitu, ia putus sekolah sejak berada di kelas 4 SD. Aku menghela nafas pasrah pada Sang Ilahi.

Setelah turun dari bus, dua orang preman berwajah garang menghampiriku. "Heh anak kecil...! " bentaknya sambil menunjuk kantungan plastik tempatku mengumpulkan recehan. "Sini!!" "Tap.. Tapi, ini uang makan hari ini..." ucapku takut. "Heh! Mana peduli! Biar uang makan, sekolah atau apalah! Sini...!" bentaknya dan merampas hasil jerih payahku pagi ini lalu meninggalkanku sendirian di tengah keramaian kota Jakarta yang penuh sesak ini. Mungkin banyak orang yang melihat kejadian tadi, namun mereka menganggapnya seakan tak terjadi apapun. Ya, mungkin itu sudah menjadi sifat dasar mereka yang acuh dan sombong.

Aku kembali berusaha mencari recehan demi recehan yang bisa kukumpulkan sampai sore ini. Tapi nihil, aku hanya mendapat beberapa ratus rupiah yang tak mungkin cukup untuk segelas air dan sebungkus nasi. Ku tatap wajah lesu adikku yang kelelahan dan kelaparan. Ku lihat kantung plastiknya. Sama, namun terlihat lebih parah dari hasil yang ku dapat. Beberapa saat kemudian, dia terbangun.
"Kak Andra..." ucapnya dengan suara parau dan wajah penuh harap.
"Maaf ya, mungkin kita bisa makan besok." Jawabku sambil tersenyum getir dan membelai rambutnya.
Aku tertidur disebelahnya sambil menahan rasa sakit di perutku karena kelaparan.

Aku berkelana di alam mimpi, entah sudah berapa lama aku tertidur. Saat aku terbangun ku tatap wajah polos Reza, wajahnya tampak begitu kotor dan kelelahan. Aku merasa bersalah kepadanya karena telah menyiksa fisik dan batinnya. Dan akupun seraya memohon kepada Yang Maha Kuasa agar kami di beri ketabahan untuk dapat tetap melanjutkan hidup.

Ku ambil gitarku dan melakukan rutinitasku sebagai pengamen, satu-satunya pekerjaan yang seharusnya tidak dilakukan oleh anak yang berusia sekitar 12 dan 14 tahun. Usia yang seharusnya menikmati masa bermain dan belajarnya. Ah sudahlah, tak ada gunanya aku mengeluh saat ini. Pernah aku menyalahkan takdir, namun apa daya. Tak ada hasil. Yang ada hanya penyesalan dan air mata yang aku dapatkan. Yang bisa kulakukan saat ini hanya membuang jauh-jauh pikiran masa lalu itu yang kini hanya menjadi angan-angan belaka dan terus mengumpulkan beberapa kepingan uang logam untuk menyambung hidup.
Sempat terlintas dibenakku. "Sampai kapankah kehidupanku akan seperti ini? Akankah ini berakhir? Apakah ini serupa menguras air laut yang tiada habisnya? Yang terus berlanjut hingga akhir hayat? Apakah kehidupanku memang ditakdirkan seperti ini? Layaknya benang kusut yang tidak akan pernah lurus seperti sediakala?" Entahlah, kuserahkan takdirku pada Tuhan mungkin itu lebih baik.

Hari-hari kulewati hanya bersama dengan adikku seorang, tanpa sosok Ibu yang mengasuh kami. Sampai pada akhirnya, preman-preman yang biasa memalaki hasil jerih payah kami di jalan raya memukuli punggungku dengan kasarnya hingga mengeluarkan cairan merah kental karena aku menolak memberikan uangku kepadanya lalu mereka meninggalkan kami sendiri di tengah hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang. Ku sentuh perlahan, "Aw.." keluhku lirih. Reza menatapku dengan gurat wajah cemas seolah mengisyaratkan. 'Kakak tidak apa-apakan?' atau mungkin 'Kakak baik-baik sajakan?'
Tatapan yang hanya ku balas dengan senyuman hambar dengan wajah pucat pasi menahan rasa sakit di punggung ini yang seakan berisyarat. 'Aku tidak apa-apa' yang mungkin sebenarnya berarit. 'Oh tentu aku tak baik-baik saja...'
Aku mengajaknya untuk terlelap dan tidak memikirkan sakit yang kuderita.

Kutatap langit dengan pikiran berkecamuk, sebuah senyum tipis tersungging di sudut bibir ini disertai air mata yang tiba-tiba nampak menerobos keluar dari mata mungil ini. Skema adegan tiga tahun yang lalu mulai nampak lagi, seakan terputar ulang secara otomatis.

Saat itu, aku dan teman sekelasku mengadakan pensi perpisahan kelas. Yang pada saat itu pula kenangan bersama teman-teman terukir kembali, kejadian-kejadian konyolku di masa Sekolah Dasar, penuh canda tawa tanpa pernah terpikirkan hari itu akan terjadi. Kejadian-kejadian menjahili teman saat ulang tahun, dimarahi dan di hukum guru, cinta monyet, bermain game hingga larut malam hingga kejadian yang tak penting yang bahkan aku tak tahu kenapa itu semua bisa teringat kembali. Jauh ku berkelana di memori masa SDku dulu, sembari menghapus air mata yang terus-terusan mengalir deras. Setidaknya itu bisa melupakan sejenak rasa sakit di punggung ini, lama kelamaan akupun tertidur pulas. Sampai akhirnya aku terbangun saat semburat langit senja sudah menghiasi langit, semburat acak-acakan yang bisa menghasilkan lukisan indah yang tiada tandingnya. Oh mungkin aku terlalu lama tertidur karena rasa sakit yang begitu menyiksa ini.

Kulihat dari ujung jalan Reza berjalan sambil menenteng sekantung plastik berisi nasi bungkus dan air minum. Ku tatap iba kepadanya, membayangkan ia bersusah payah sendirian hari ini. Sempat aku menolak memakannya karena aku tidak ikut membantunya untuk mencari makanan ini, tapi ia tetap bersikeras memaksaku dengan mengatakan, "Kakak harus memakannya, tak peduli siapapun yang bekerja keras, jika hari ini aku bertahan hidup sedangkan kakak tidak, itu tak kan ada gunanya. Apapun yang terjadi, kita harus tetap bisa bertahan hidup hingga hari itu datang. Hari dimana kita benar-benar ditakdirkan untuk mati.." ucapnya.
Dalam hati aku bersyukur telah diberikan sosok adik yang penuh pengertian dan bisa menerima apapun yang terjadi, apapun keadaan kami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline