Seorang pengemis tua berjalan menelusuri trotoar sebuah kota yang sangat ramai. Pengemis tua itu mengenakan baju yang compang-camping. Matanya yang kuyu, kulitnya yang mengerut, baunya menyengat ketika arah angin bertiup.
Namun setiap hari ia tak lupa mengingat dan bersyukur kepada sang Pencipta, saat ia disuruh memungut ceceran sisa nasi yang dibuang oleh tukang warung ataupun orang sudah makan di warung. Terkadang dicaci maki, dihina dan perlakuan kasar yang tidak manusiawi.
Meskipun demikian perlakuan-perlakuan seperti itu kepada dirinya, ia tidak pernah merasa sakit hati, benci atau dendam. Yang ia pikirkan dalam benak adalah banyaknya manusia-manusia yang diciptakan dengan sesempurnah itu oleh sang Pencipta. Mereka hidup dalam kekayaan, kemewahan, kecantikan, kegagahan. Banyak diantaranya sudah lupa takabbur dan durhaka bahkan terkesan memanusiakan binatang dan membinatangkan manusia.
Suatu waktu ketika dia duduk-duduk beristirahat di bawah sebuah pohon. Hatinya menjerit, memohon maaf kepada Tuhan dan sekaligus berterima kasih karena ia diciptakan ia sebagai seorang pengemis. Seandainya aia menjadi orang yang kaya, akankah ia berperilaku seperti itu? Dan bagaimana pertanggung jawaban harta itu di depan Tuhan nanti. Ia memiliki prinsip bahwa lebih ia diperlakukan tidak senonoh dari pada ia memperlakukan orang lain yang tidak senonoh. Sore hari telah tiba ia kembali tertatih-tatih pulang ke gubuk tuanya di bawah jembatan. Di situlah ia menghabiskan sebagaian hidupnya. Dingin mencekam, berteman dengan nyamuk-nyamuk yang sopan. Alangkah nikmatnya dia bisa tidur lelap tanpa berutang di bank.
Hujan terus-menerus mengguyur kota itu, hingga air meluap dan menggenangi tempat gubuknya tua itu. Kota itu seperti kota mati setelah dilanda banjir besar. Ia hanya duduk menonton di bibir jembatan melihat-lihat sampah-sampah yang terbawah arus. Tidak lama kemudian secara tidak sengaja tiba-tiba dan tidak terpikirkan sebelumnya, ia melihat kilatan di langit bertuliskan LAILAHA ILLALLAH dan gemuruh membisikkan telinganya kata "Manusia sudah lupa akan Penciptnya"
Esok harinya ia terbangun dan melihat sekelilingnya sebagai neraka dan terkejut karena semua bangunan jungkir balik dan bergelimpangan manusia seperti sebuah sampah yang berserakan. Sang pemgemis kembali berenung tentang kehidupan ini. Ia sadar di dalam hati berkata, " Ya Allah apakah ini merupakan hukuman atau pembalasanmu terhadap manusia-manusia yang bermandikan dengan noda-noda dosa. Jika memang demikian, Engkau ya Allah Maha Pengampun, Ampunilah hambamu yang bertingkah demikian! Itu merupakan kehilafan sebagai manusia biasa.
Sang pengemis dengan langkah yang semboyongan menelusuri puing-puing bangunan megah dan kokoh, dengan tarikan nafas seraya berdoa kepada Tuhan agar dapat dia dapat diampuni dosa-dosanya dan sesamanya, baik yang masih hidup terlebih-lebih yang sudah mati. Dia tidak dendam, jengkel dan marah sebagai dendam perlakuan manusia kepadanya dulu. Tetapi sebaliknya sedih dan menangis meratapi nasib sesamanya. Hanya secuil inilah pengorbanan dalam bentuk perasaan yang dapat diperbuat sekaligusd bentuk pertolongan sang pengemis, karena hanya kekuatan itu yang dimilikinya.
Betapa terkejut sang Pengemis Tua ketika matanya sayup-sayup melihat seorang bocah kecil yang lucu kira-kira berumur satu tahun tanpa menangis seakan bermain, bercanda dengan terik matahari di sela puing bangunan. Ia menghampiri dengan hati yang was-was. Ia seakan tak percaya kenyataan di depan matanya. Ia sangat terharu karena bocah kecil itu bisa hidup sedangkan orang dewasa yang kuat saja bayak yang tidak berdaya terbawa banjir. Betul-betul kuasa Tuhan ucapnya dalam hati. Tidak lama kemudian, ia pun mengendong anak kecil itu ke tempat yang lebih aman. Yang ia pikirkan lagi bagaimana cara menghidupi bocal kecil itu? Jangankan segelas susu, sesuap nasi saja untuk dirinya sangat sulit. Tiba-tiba bocah kecil itu menangis tanda bahwa ia sedang lapar. Maka mau tidak mau sang Pengemis itu harus berusaha agar si bocah tidak mati kelaparan. Apa boleh buat, setelah matanya tertuju pada koran yang tersangkut di tiang listrik yang tidak terbawa banjir, timbullah pemikiran untuk memberikan makanan si anak dengan koran. Setelah koran dijadikan bubur, ia menyuapi si bocah itu. Si bocah itu pun merasa kenyang dan bermain-main kembali.
Dua tahun telah berlalu setelah peristiwa itu, ia pun kembali tinggal di gubuk tua yang terletak di bawah kolom jembatan, namun hal itu tidak bertahan lama karena pemerintah menggusur lagi tempatnya. Ia harus cari lagi tempat lain. Ia kerap berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan ditemani oleh anak itu. Seiring dengan perkembangan waktu, anak itu kian hari akan beranjak dewasa. Anak itu telah dianggap sebagai cucunya sendiri, begitu pula dengan anak itu mengaggap sang Pengemis tua sebagai kakeknya. Kini sang pengemis harus bangkit dan berjuang melawan pahitnya kehidupan demi menghidupi anak kecil itu.
Suatu saat awan membias menutup birunya langit. Sejenak atap bumi seperti padang salju terbalik Begitu putih dan bersih kutatap awan hingga mataku lurus membentuk vertikal. Ketika memandang ke langit lagi, tiba-tiba timbul petanyaaan dalam benakku, " siapakah pa Tua itu sebenanrnya dan mungkinkan aku ini adalah cucunya dan siapa orang tuaku? Kuhela nafas panjang dan kugerakkan kepala kembali menengadah ke langit, semakin kulihat langit tinggi di atas maka semakin jauh aku tersesat dalam mencari asal usulku sebenarnya.
Aku kembali berjalan perlahan. Gesekan demi gesekan kurasakan pada bebatuan. Awan kembali tersingkap, angin menggiringnya ke tepi, matahari kembali memanggang bumi dengan radiasi sinarnya. Dengan sekuat tenaga, aku mengikuti langkah kaki Pengemis Tua yang telah mengasuh dan membesarkanku seperti sekarang ini. Walaupun hidup dengan kemiskinan dan serba kekurangan tatapi ia selalu mengajariku arti kehidupan untuk selalu taat beribadah kepada Tuhan. Setelah menempuh perjalanan panjang kami tiba di suatu tempat yakni di suatu desa terpencil. Di desa itu predikat pengemis berganti menjadi Pa Tua atau Kakek. Di desa itulah Pa Tua pilih sebagai tempat hidup. Karena terlalu kelelahan ia membaringkan tubuhnya di bawah pohon sambil berguman dalam hati bahwa seandainya bukan karena masa depan anaknya tersebut maka baginya menjadi pengemis di kota cukuplah menyenagkan baginya.