Lihat ke Halaman Asli

Asda J Pandiangan

Dosen & Finance Enthusiast

INA Menggebrak, Terus Bergerak!

Diperbarui: 19 April 2022   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Pekan lalu, 14 April 2022 merupakan momen bersejarah bagi Lembaga Pengelola Investasi atau yang lebih dikenal dengan Indonesia Investment Authority (INA), sovereign wealth fund milik Indonesia. Presiden Jokowi menggunakan istilah pecah telur, dimana INA untuk pertama kalinya melakukan investasi ditandai dengan penandatangan penjanjian induk dengan Hutama Karya dan Waskita senilai Rp 39T. Sekitar 14 bulan sejak resmi didirikan dan setelah melalui berbagai negosiasi mengenai skema pembiayaan, INA sepakat untuk menyuntikkan dana melalui asset recycling atas 3 ruas jalan tol Sumatera untuk Hutama Karya dan 2 ruas tol Trans Jawa untuk Waskita.

Apakah SWF itu? Berdasarkan kurikulum CAIA, definisi SWF adalah dana investasi yang dimiliki negara dengan tujuan untuk generasi mendatang dan/atau stabilisasi mata uang. Umumnya dana berasal dari surplus yang berasal dari commodity boom. Ada 4 jenis SWF: 1) dana stabilisasi, bertujuan untuk menyeimbangkan neraca suatu negara akibat fluktuasi pendapatan terutama terkait komoditas: 2) dana simpanan, bertujuan untuk memberikan equity lebih besar untuk generasi mendatang dengen investasi orientasi investasi untuk mengoptimalkan total return; 3) dana cadangan, bertujuan memaksimalkan total return; dan 4) dana pengembangan, bertujuan sosial-ekonomi antara lain pengentasan kemiskinan, peningkatan human capital, dan pendidikan.

Inilah yang menarik dari INA. Lembaga ini tidak masuk dalam definisi diatas. INA mengadopsi model SWF milik India yaitu National Investment & Infrastructure Funds (NIIF), dimana sumber dana berasal tidak hanya dari internal melainkan juga dari foreign direct investment. Pemerintah Indonesia menyuntikkan dana sebesar $5 milyar dan menargetkan asset under management sebesar $20 milyar di masa mendatang yang berasal dari kontribusi co-investor.

Indonesia tidak memiliki surplus anggaran, bahkan justru defisit karena pembiayaan infrastruktur yang raksasa. Dikutip dari presentasi Cyril Noerhadi, salah satu Dewan Pengawas INA, Indonesia membutuhkan SWF karena pembiayaan infrastruktur yang sangat besar sementara realisasi FDI yang fluktuatif dan cyclical serta kapasitas pembiayaan BUMN yang semakin terbatas (rasio hutang dibatasi oleh covenant).

Ada alternatif lain sebenarnya yaitu Public Private Partnership (PPP). Hanya saja menurut Mukti P. Soejachmoen, bekas Chief Economist Danareksa, skema PPP masih government-centric dan kurang menarik perhatian investor asing. Model SWF dipercaya mampu memberikan pengelolaan yang lebih profesional dengan studi kelayakan yang lebih valid. Dengan menjadi lembaga yang kredibel, INA berusaha menarik perhatian dana investasi asing untuk menanam modal di Indonesia. Skema PPP sendiri mendorong peran aktif swasta. Muncul permasalahan karena swasta yang berorientasi profit memandang proyek infrastruktur Presiden Jokowi sangat berat dalam permodalan dengan tingkat pengembalian yang kurang atraktif. Ujungnya, BUMN Karya lah yang berpeluh keringat menjadi ujung tombak.

Dari aspek ESG, terutama governance atau tata kelola, ada implementasi positif yang sudah diterapkan, antara lain bentuk 2-tier dewan: Dewan Direktur dan Dewan Pengawas. Dewan Pengawas memiliki wewenang mengangkat dan memberhentikan Dewan Direktur. Format Dewan Pengawas adalah 3 anggota independen profesional dan 2 menteri ex-officio (Menkeu dan Menteri BUMN). Masa bakti Dewan Pengawas dibuat tidak sama (staggering). Penentuan Dewan Pengawas sendiri dilakukan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk Presiden. Terakhir, tidak ada satupun anggota Dewan baik Direktur maupun Pengawas yang terafiliasi dengan partai politik.

Lalu akankah semua akan berjalan indah? Belum tentu. Beberapa pengamat menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia terlalu agresif dalam memasarkan INA, seperti yang dilakukan Menko Marves ketika mengumumkan ketertarikan Arab Saudi berinvestasi melalui INA. Hal ini bisa jadi menempatkan calon investor pada posisi yang kurang nyaman. Kedua, produk yang hendak dijual kurang menarik. Terlepas dari tujuan yang sudah tepat, nilai ekonomis dari proyek infrastruktur di Indonesia masih dipertanyakan. Jika memang sejak awal proyek ini menarik, mengapa sulit untuk membawa investor? Apakah benar investasi ini sanggup menghasilkan alpha, ditambah dengan lockup periode investasi yang lebih lama? Dibutuhkan niat (sangat) baik dari co-investor dan kemampuan pendekatan bilateral yang hebat untuk memastikan kedatangan mereka.

Pak Jokowi dan Ibu SMI kompak posting di Instagram tentang nota kesepakatan INA. Saya mau sudahi tulisan ini, kebetulan saya mau like dulu postingannya. Saya like karena saya apresiasi mereka. Tapi jangan sampai kita puas diri karena INA masih kalah dengan tetangga kita: Khazanah, GIC, Temasek, dan bahkan Timor Leste Petroleum Fund. Usia INA memang masih muda dan tidak bisa dibandingkan dengan SWF yang lebih mapan. Semoga ini bukan hanya sekadar inovasi sesaat untuk mengakali pembangunan impian Presiden Jokowi, dan tidak bergantung oleh rezim yang berkuasa. Di hati kecil saya, ada keinginan agar melihat INA nanti bersanding di daftar 10 SWF terbesar dunia. Wallahualam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline