Lihat ke Halaman Asli

Benar juga Kata Orang Tua Kita, Rumah Dulu Baru yang Lainnya

Diperbarui: 23 Januari 2016   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Salah Satu Perumahan di Kawasan Bogor"][/caption]Apa Anda juga termasuk tipe orang seperti saya? Beberapa tahun kerja, mulai mapan, memikirkan investasi masa depan, lalu bingung memilih rumah apa kendaraan dulu? Atau investasi lainnya?

Kalau saya dulu memilih melanjutkan studi. Alhamdulillah, dari keinginan melanjutkan studi ini akhirnya saya termotivasi untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dengan pendapatan yang mencukupi untuk menutupi biaya kuliah. Saat kuliah sudah selesai, mulai bisa menabung lagi, akhirnya berpikir lagi. Bagaimana penghasilan bisa saya investasikan agar tak habis begitu saja. Maklumlah, namanya perempuan lihat barang bagus sedikit biasanya ingin beli. 

Karena hobi travelling dan satu dua pertimbangan lainnya, termasuk pertimbangan, "biar suami saja nanti yang beli rumah" serta pertimbangan "saya perlu kendaraan untuk survey tesis kuliah". Maka sebagian tabungan saya belikan ke kendaraan. Tak mewah memang, tapi cukuplah untuk keperluan sehari-hari. Beli kendaraan bukan tak ada untungnya. Sekali-kali ada juga teman yang menawarkan untuk menyewa kendaraan saya.

Lalu apa masalahnya?

Pertama, saat sedang melanjutkan studi, saya mencoba alternatif lain untuk menambah-nambah penghasilan. Katakanlah, packaging cemilan dan menitipkannya di koperasi kantor atau kampus; berjualan secara online; jualan pulsa; jualan tiket; trading tugboat; dan mencoba usaha konveksi dengan saudara sepupu. Kebetulan salah satu anggota keluarga memang berwirausaha di bidang ini. Nah, sewaktu memulai usaha konveksi ini saya mulai sedikit menyadari, ada benarnya juga dulu sebelum berniat melanjutkan kuliah, orang tua agak rewel menyuruh saya membeli rumah. Alasan orang tua, daripada ngekos uangnya buat orang, mending ajukan KPR ke bank, bayar tiap bulan, jatuhnya sama saja, cuma uang yang kita keluarkan buat bayar KPR hasilnya buat kita. Ya itu tadi hasilnya, rumah.

Mungkin karena masih sendiri, saya masih belum 'tergugah'. Saat saya mengajukan kredit mikro ke bank untuk modal usaha dan ditanya masalah aset yang bisa dijadikan jaminan, baru saya menyadari kalau orang tua saya ada benarnya. Lebih mudah bagi bank untuk menyetujui pinjaman jika aset yang kita jadikan jaminan berbentuk rumah (aset tak bergerak). Untung saja sewaktu mengajukan cicilan kendaraan bukti pembayaran PBB sesuai tempat kartu keluarga saya dikeluarkan bisa dijadikan jaminan.

Itu pertama. Lalu, kejadian berikutnya. Sewaktu mengurus visa ke salah satu negara. Karena satu dan lain hal, petugas tempat saya mengurus visa menyarankan untuk melengkapi aplikasi permohonan dengan surat kepemilikan aset di Indonesia. Bisa dalam bentuk PBB ataupun pajak kendaraan (STNK). Karena belum punya rumah, saya hanya melengkapi permohonan pengajuan visa dengan STNK kendaraan.

Lalu apa masalahnya?

Ternyata permohonan pengajuan visa saya ditolak dan setelah berdiskusi dengan pihak kedutaan muncul statement, bukti kepemilikan aset yang saya miliki tidak signifikan dan tidak cukup meyakinkan. Nyelekit memang. Sekali lagi, saya usap dada dan mengakui. Benar juga kata orang tua, sebaiknya beli rumah dulu baru lainnya. Setidaknya, untuk orang perantauan seperti saya, memiliki rumah adalah salah satu bukti bahwa kita sudah berhasil di perantauan dan tidak lagi dianggap pendatang.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline