Emak bilang, bapak sedang mendayungi lautan, melewati Segitiga Bermuda dan samudera-samudera. Beliau tidak akan pulang dalam waktu dekat, jadi saya harus bersabar. Dari kecil hingga saat ini, saya tetap menunggunya.
Di atas pasir putih yang hangat, lautan yang meninggi dilihatku. Emak memanggilku untuk masuk ke dalam karena langitnya sudah menggelap. Saya bangkit dari renungan dan berlari ke rumah yang berada di belakang tempat saya duduk sebelumnya. Rumah kecil yang terbuat dari papan-papan kayu, yang mana penghuninya sedang menunggu kepulangan seseorang.
"Tumben senyum-senyum terus. Kenapa, Dit?" Tanya Emak saat menyiapkan nasi dari dandang.
"Hehe, iya Mak. Tadi Adit dapat tawaran dari Pak Joko untuk membantu beliau menangkap ikan nanti malam. Boleh kan, Mak?"
"Ooh, ya bagus kalau begitu. Hati-hati ya, Le."
Nasi dengan lauk ikan tongkol ini disantap bersama-sama dengan senyuman yang terlukis di wajah saya. Mungkin saja saya akan bertemu dengan Bapak nanti, hati ini rasanya berdebar-debar.
***
Langit nampak hitam pekat dan bulan telah menunjukkan kehadirannya. Saya sedang berjalan menuju pantai, di sana Pak Joko sedang menyiapkan perahu dan jalanya. Senang hati saya ketika Pak Joko mempersilakan saya untuk membantu beliau menangkap ikan. Karena dengan melihat laut, saya dapat berandai-andai bahwa Bapak sedang menangkap ikan di suatu perairan yang jauh nan asing.
Ombak laut mulai bertabrakan dengan dinding perahu Pak Joko, menghadirkan rasa ombang-ambing yang biasanya memabukkan bagi anak kota. Karena dari tadi Pak Joko tidak mengucapkan apa-apa, saya berinisiatif untuk memulai sebuah percakapan seperti biasanya.
"Pak, dulu Bapak akrab dengan Bapak saya kan?"
"Kok dari kemarin nanya itu terus, Le?"