Selama ini, kukira aku tak terlalu membutuhkan telingaku. Telinga yang hanya dipenuhi dengan suara ketikan dari mesin ketik dan suara jangkrik di tengah malam. Seorang penulis sepertiku, aku merasa tak begitu membutuhkan sepasang telinga.
Tidak ada siapa pun yang berbicara denganku. Setiap harinya, aku hanya membusuk di dalam kamar. Kantung mata yang setiap detiknya makin menghitam ini pun tidak ada yang melihatnya.
Kukira, aku bisa terus hidup seperti ini.
Sampai adikku yang tak lama kutemui ini tiba-tiba tinggal di rumahku.
***
"Kak Lukes, listriknya tidak menyala lagi!" sahutnya dari lantai bawah. Aku menggerutu. Hidupku yang tenang selama ini, ke mana ya?
"Tak bisakah kau melihatnya sendiri, apa yang salah dengan mesin uap kita?"
"Maaf Kak, aku harus buru-buru pergi ke restoran untuk bekerja... Baru saja aku mau menggunakan toilet, tapi listrik dan airnya tidak menyala."
"Jadi benar-benar harus aku, ya?" ucapku dengan nada masam.
"Tolong ya, Kak, maaf!"
Aku beranjak dari tempat dudukku di depan mesin ketik sembari berusaha menghilangkan pikiran kejiku. Rumah kami, tidak, rumahku yang kubeli sendiri dari hasil kerjaku sendiri ini, hampir tak pernah mengalami kerusakan sebelumnya. Semenjak adikku kemari, rumahku menjadi macam kapal pecah.