Saya beberapa waktu lalu menulis artikel mengenai stunting di blog pribadi saya. Ketika pencarian dan pengumpulan materi pendukung, sampailah saya pada konten yang dipublikasikan di YouTube, yang membuat saya menarik suatu kesimpulan setelah menonton video tersebut.
"Kemiskinan, ternyata erat dengan rokok, dan menghasilkan anak berpotensi stunting."
Double problema.
Mengapa? Kemiskinan, tentu akan berpengaruh terhadap kemampuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan sumber pangan bergizi. Ditambah lagi, ternyata pola konsumsi keluarga miskin yang menjadikan rokok sebagai salah satu pengeluaran belanja utama. Keperluan untuk bahan pangan bergizi terpangkas dua kali.
Tak ayal prevelensi stunting di Indonesia masuk pada kategori tinggi. Lah, bapaknya lebih milih beli rokok ketimbang telor ayam. Makan bisa cuma sama garam, tapi gak ngerokok mulut asam dan gak tahan. Padahal, harga 2 batang rokok aja sudah bisa buat 4 potong tahu yang jadi sumber protein. Plus ngenyangin.
Pemerintah tidak tinggal diam. Solusi dan program digelontorkan. Stunting harus ditekan. Kementrian saling bersinergi dan bergandengan tangan. Kementrian Sosial salah satunya, meluncur kan Program Keluarga Harapan (PKH). PKH sendiri sebetulnya sudah berjalan sejak 2007. Dikenal dengan Conditional Cash Transfer di dunia internasional, dan dianggap terbukti dalam menanggulangi kemiskinan. Penerimanya bantuan bersyarat PKH disebut dengan Keluarga Penerima Manfaat (KPM). PKH ini, diharapkan membuka akses keluarga miskin, utamanya ibu hamil dan anak serta penyandang disabilitas dan lansia pada fasilitas kesehatan, pendidikan, mempertahankan kesejahteraan sosial keluarga miskin dan selanjutnya diharapkan dengan pelatihan dan pemberdayaan, taraf kesejahteraan sosial KPM meningkat.
Secara khusus jika dilihat dari penanggulangan stunting. PKH adalah salah satu penunjang intervensi gizi sensitif. Kementrian Sosial menyatakan juga dalam berbagai kesempatan bahwa program PKH adalah senjata andalan kementrian tersebut dalam mengatasi stunting. Intervensi berupa bantuan tunai bersyarat tersebut diharapkan bisa meningkatkan daya beli untuk memenuhi pangan bergizi keluarga.
Baca: Program Keluarga Harapan Berkontribusi Pada Penurunan Stunting
Nyatanya? Seringkali KPM menggunakan bantuan tunai tersebut untuk keperluan yang bukan peruntukannya. Pembelian rokok contohnya. Hal ini pun disadari oleh pemerintah. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan menegaskan para KPM untuk tidak menggunakan bantuan tunai untuk konsumsi tak berguna tersebut. Lah, dikasih uang supaya anakmu bisa makan bergizi tumbuh sehat dan cerdas kok malah beli rokok. Percuma, yang ada anak tetap bermasalah gizinya seisi rumah terganggu kesehatannya karena dampak asap rokok.
Baca: Jokowi: Dana PKH Tak Boleh untuk Beli Rokok.
Jadi gimana? Sama aja dong mau jadi KPM atau enggak. Buat rokok lagi rokok lagi. Komitmen pemerintah tidak boleh setengah setengah. Prevelensi stunting kita sudah menurun memang menjadi 30%. Tapi 30% itu angka yang masih tinggi.
Pendapat saya, jika menyangkut PKH, maka pemberian PKH harus meliputi persyaratan yang lebih ketat. Contohnya salah satu kewajiban Ibu dan anak KPM adalah melaporkan status kesehatan dasarnya pada puskesmas atau posyandu sesuai domisili. Anak dalam KPM wajib diperiksa dan dipantau tumbuh kembangnya sesuai dengan SK Antopometri. Nah dari kewajiban tersebut tentu bisa dilihat, jika dalam beberapa bulan status gizinya tidak meningkat perlu evaluasi secara mendalam keadaan keluarganya. Apa bantuan tunai PKH sudah tepat penggunaanya? Apa keluarganya tahu pedoman gizi seimbang? Dan apakah keluarganya ada yang perokok? Jika memang ada yang perokok secara khusus perlu dilakukan pembinaan dan pendampingan. Syukur syukur bisa berhenti merokok atau minimal pengeluaran konsumtif rokok ditekan menjadi yang terbawah. Atau cara ekstrim? Keluarga perokok tidak akan masuk KPM. Lebih ekstrim lagi. Naik kan harga rokok agar tidak terjangkau rumah tangga miskin.