Lihat ke Halaman Asli

Indonesia Type 21

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Indonesia Type 21, (1)

Lelaki itu Aku

Indonesia, lelaki paruh baya, rumah mungil di bawah trembesi

Dimana catatan alamat surat sahabat telah di larung

Ketika ancaman hari depan menjadi sarapan pagi

Dimana aroma wangi tanah basah telah banyak menguap

Ketika setiap malam tidur menjadi saat yang menakutkan

Berhektar hektar ladang menumbuhkan pucuk pucuk harapan

Bagi mulut mulut besar, tapi tidak bagi penyair, bagi Ibunda

Bagi anak anak yang percaya kepada hati nurani

Berhektar hektar ladang membunga percik api kemarahan

Karena angin telah berhembus mengabulkan doa penjual nama

Indonesia, lelaki paruh baya, tabur bunga di pusara ibunya

Dengan bunga yang tak dipetik, tapi dipungutnya setelah gugur

Di tiap senja di bawah trembesi, juga di pusara mimpinya

Hingga terbenam dalam sunyi dendam yang tertahan

Rumah mungil pun mengabut, bidadari kecil menangis di sudut

Ibunda dengan wajah lebam berhias di kaca retak

Matahari terus membakar ladang ladang, memaki ladang ladang

Lelaki menelusup pintu dan teronggok di bawah celah atap

Mencari cari bulan.

Kudus, 2010.

Indonesia Type 21, (2)

Anak Lelaki-ku

Indonesia dalam jantung bocah 11 tahun

Berdetak lambat seperti jarum jam di stasiun

Kereta yang ditunggu membawakan mainan

Tak juga muncul

Bersama jutaan bocah lainnya

Bermain, meski bermain sudah tak lagi berhati

Hanya semakin menjauhkannya dari kampung halaman.

Rumah mungil dan trembesi menyimpan kenangan

Sunyi memanggil mengajaknya mati

Lalu cakrawala berpelangi jelaga, sehitam keluh kesahnya:

”Aku ingin melihat hutan, Ma... membelai harimau dan orang utan”

Mengapa ruang telah dimampatkan

Hingga jantung berdetak lamban?

Dia tertidur dalam remang cahaya di antara Matematika dan Agama

Lalu ia bermimpi menulis sebaris email untuk kenalan barunya: ”Apa kau mengenal Indonesia, seperti aku mencintainya?”

Kereta tak jua datang, hanya deru angin menggetarkan pohonan

Tapi di mimpinya, ia melihat kereta telah melaju kencang

Tapi tak berhenti lama

Dan tak menghampirinya.

Kudus, 2010

Indonesia Type 21, (3)

Anak Perempuan-ku

Anak perempuanku selalu mencabik cabik Indonesia

Pada setiap pagi dan senja, dan masih di bawah trembesi

Sebab rumah yang selalu buat singgah, serasa terbelah

Siang menciderai matahari, bulan pun terluka malam

Dan anakku menggenggam berbie bernyanyi di kamar mandi

Menirukan sebuah lagu yang terisak seorang pengembara:

”mengapa aku harus lelah karena cemburu?”

Indonesia menyusup dalam nadinya yang bercahaya

Seperti seekor kunang kunang di dalam botol kaca

Ingin meronta! Ingin memberontak!

Memecahkan botol kaca meskipun bertaruh nyawa.

Sebentar lagi saja, waktu akan melahap habis harapan

Bahkan cintanya, sebab di rumah ia tak lagi menjadi anugrah

Sembari melarung dua buah sekoci, di tepi sungai coklat

Yang mengalir di bawah trembesi,

terdengar anakku bernyanyi lirih dan sesak,

”tak usah banyak, pintaku cukup satu saja:

Satu tetapi berarti - Satu tetapi abadi”.

Kudus, 2010

Indonesia Type 21, (4)

Wanita-ku

Pada hamparan selendangmu, Indonesia dalam formasi menyala

Kembali bertanya, mengapa kita masih teronggok di bawah trembesi

Rahim yang kucium adalah janji

Kau akan melahirkan jutaan anak anak yang lebih Indonesia

Lebih miskin, pasti! Sebab kita tak pernah lulus jurusan ekonomi

Tapi kita masih berharap masih ada hati;

Yang terisak manakala kakak kakak perempuannya lupa harga diri

Yang mampu menyesal manakala kita tak mampu menjaga cinta

Yang berani melawan manakala hutan dan hutang disatroni para pencuri

Kudus, 2010.

Sajak Cinta

‘tuk: istriku akhirnya aku menjumpaimu di sini di antara wangi kenanga dan warna biru berkubang dalam satu gerabah sebentar berhenti dari perjalanan yang rumit dan kita telah meronce semua itu menjadi perhiasan sanggulmu dan jemariku cinta bukanlah sekadar sajak, kekasihku bahkan bukan keindahan itu sendiri di dalam satu gerabah kita bertukar jawab dengan jujur aku menjumpai huruf yang tercipta di hatimu kamu pun akan tahu betapa ringkihnya aku di sini kita beradu rasa cemas karena kenyataan memang lebih menyakitkan turunlah, kutunggu kamu di sini berkubang dalam satu gerabah agar kita tahu pantaskah kita bernama cinta Kekasihku, meski cintaku sederhana, tapi sejati selamanya. Kudus, 2010.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline