Lihat ke Halaman Asli

Antara Beasiswa dan Kerja, Aku Pilih Berbakti

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berawal dari kebiasaan mengikuti milis beasiswa dan motivasi yang luar biasa dari dalam diri, membuat saya tidak pantang menyerah untuk meraih beasiswa S2. Beberapa kali gagal, bukan alasan menjadi cengeng dan berhenti. Semua usaha ku lakukan. Mulai dari memperbaiki score TOEFL, menambah aktivitas di waktu senggang dengan ikut beberapa program relawan kemanusiaan, bahkan mengikuti kuliah online gratis di bidang keilmuan linguistic-pun saya tekuni. Dengan satu harapan, ketika saya mengadu nasib beasiswa, pengorbanan-pengorbanan tersebut akan jadi pembeda dengan pelamar beasiswa lainnya.

Penantian panjang, sejak kelulusan S1 di tahun 2012, berujung bahagia. Lulus wawancara sebuah beasiswa menjadi kado terindah di penghujung 2013. Tinggal 1 langkah lagi.Dengan mengikuti Program kepemimpinan yang disponsori penyedia beasiswa, saya akan secara resmi mendapatkan tiket S2. Tidak hanya itu, tawaran beasiswa S2 di salah satu Universitas ternama di Negeri Naga kecil Asia pun sudah di depan mata. Admission ke universitas sudah dilakukan. Berkas pendukung sudah tersusun rapi di sebuah amplop, dan siap dikirimkan. Taiwan will be the next destination.

Tidak bosan aku mengucapkan rasa syukur. Kerja keras selama ini dibalas olehNya. Aku semakin yakin akan keajaiban “Man jadda wajada”, siapa bersungguh-sungguh akan mendapat.

Namun, rasa bahagia itu sontak hilang bak di telan bumi. Duduk di bangku S2 sambil mendengarkan teori-teori linguistik ala Noam Chomsky hanya tinggal mimpi. Aku harus puas dengan gelar sarjana S1. Di luar dugaan, ternyata kedua orangtua ku kurang berkenan. Karena alasan keuangan. Bukan mereka tidak ingin melihat saya berpendidikan tinggi. Bahkan orangtua ku pernah punya cita-cita ingin melihat saya menyandar gelar Doktor (gelar tertinggi akademik). Namun, untuk saat ini, mereka lebih setuju jika saya tetap bekerja. Dengan demikian, saya masih tetap bisa membantu keuangan keluarga. Biaya sekolah ketiga adikku akan tertanggulangi. Belum lagi, membangun rumah baru, yang sudah saya janjikan. Rencana menikah akhir tahun juga menjadi alasan kesekian yang membuat kedua orangtua saya lebih sepakat bahwa untuk saat ini, waktunya belum tepat.

Jika di saat dua tawaran beasiswa, membuat saya bingung harus pilih yang mana. Maka saat ini, pilihannya berbeda. Aku terpaksa harus memilih, kuliah atau kerja. Melalui media sosial, aku menulis beberapa status yang menggambarkan kegalauan terhadap persoalan ini. Beberapa teman yang care, menyempatkan diri meninggalkan komentar. Ada yang usul, saya kuliah saja. Dengan alasan, setalah selesai S2, tawaran kerja akan semakin banyak dan lebih bagus. Tidak sedikit juga yang mengatakan agar saya fokus kerja saja. Sebab, tidak mudah mendapatkan pekerjaan seperti yang saya dapatkan saat ini. Hatiku pada akhirnya mulai mantap, setelah membaca komentar-komentar tersebut. Apalagi, di antaranya, ada yang menyarankan saya untuk shalat Istikhoroh, meminta ketetapan hati kepada sang pencipta jagat raya. Yang maha tahu dan yang mangatur semua seluk beluk kehidupan.

Beberapa hari kemudian, hatiku semakin mantap dan yakin. Apapun resikonya, pilihan harus segera diambil. Antara kuliah dan Kerja, Aku pilih berbakti.

Menuntut ilmu adalah hal yang sangat baik. Karena ilmu yang diperoleh akan bermanfaat untuk orang banyak. Namun, hukum menuntut ilmu dari fardhu ‘ain, adakalanya akan berubah menjadi fardhu kifayah. Untuk persoalan ini, hukumnya masih tergolong fardhu kifayah. Karena jikapun saya tidak mengambil keilmuan linguistic, pasti ada orang lain yang akan mengambil bidang tersebut. Sehingga kewajiban tersebut terpenuhi.

Lain halnya dengan berbakti kepada orangtua. Sampai kapanpun, berbakti kepada orangtua (Ibu dan Bapak) tetap dalam kategori fardhu ‘ain (wajib untuk setiap orang). Maka tidak ada alasan bagi saya untuk tidak mengabdi kepada mereka. Apalagi mengingat umur mereka sudah tidak tergolong muda lagi. Untuk itu, dipenghujung usia mereka saat ini. Merupakan sebuah kebanggaan jika bisa memenuhi keinginan mereka.

Aku dengan mantap menjawab, “Kuliah atau kerja, aku pilih berbakti”.

***Ahmed S. El hamidy***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline