Lihat ke Halaman Asli

Asa Afifatun Nazma

mahasiswa/pelajar

Mengenang Sabtu Kelabu Kanjuruhan

Diperbarui: 7 Desember 2022   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kericuhan yang terjadi di Stadion kanjuruhan Malang dalam laga Persebaya VS Arema FC /Twitter.com/@akmalmarhali.

Sabtu 1 Oktober 2022 telah menjadi peristiwa malam kelabu Indonesia. Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur menjadi saksi bisu kejadian maut pada laga Arema FC vs Persebaya malam itu. "Jumlah total korban 754 orang, 132 orang meninggal dunia, 596 orang luka ringan, 26 orang luka berat," kata Kepala Posko crisis center dan Dinas Kesehatan Kabupaten Malang itu. Pertandingan berakhir tragis setelah kerusuhan merenggut ratusan nyawa.

Setelah peristiwa di Estadio Nacional, Lima, Peru (1964) dengan tewasnya 300 orang lebih."Insiden Kanjuruhan' (01/10/2022) menjadi tragedi sepak bola terburuk kedua di dunia, sontak tragedi kemanusian tersebut menyedot perhatian dunia siapa sangka, peluit panjang pertandingan menjadi akhir kehidupan bagi ratusan orang. Presiden Jokowi beraksi dengan menghentikan Liga 1 dan membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta yang dikomandoi Menko Polhukam Mahfud MD untuk mengusut tuntas peristiwa memilukan itu.

 Apakah peristiwa tersebut merupakan bukti kelalaian Negara? Mengutip dari berbagai liputan media, setidaknya ada beberapa pelanggaran yang terjadi dalam tragedi Kanjuruhan. Pertama penggunaan gas air mata meski digunakan sebagai senjata untuk pengendali kerusuhan, dalam aturan FIFA Stadium Safety and Security Pasal 19 huruf B berbunyi "No fi rearms or' crowd control gas" shall be carried or used" yang menyebutkan larangan membawa dan menggunakan senjata api atau gas pengendali massa. Lalu menurut Mahfud MD menyebutkan jumlah tiket penonton yang dicetak saat pertandingan sejumlah 42.000 lembar  melampaui kapasitas yang hanya memuat 38.054 orang dugaan over capacity dalam tragedi Kanjuruhan ini.

Dikenal sebagai Derby Jawa Timur, pertandingan berakhir pada Sabtu malam (1 Oktober) dengan kemenangan tim tamu. Kemudian sekelompok fans memasuki lapangan saat  Arema FC dan tim  mendekati tribun untuk meminta maaf kepada fans mereka atas kekalahan tersebut. Komnas HAM menyebutkan, kejadian tersebut bermula sekitar pukul 22:08:59 WIB, atau sekitar 20 menit setelah peluit pertandingan dibunyikan.

Saat itu, pihak berwenang menembakkan gas air mata pertama untuk memaksa para suporter masuk ke lapangan. Namun tidak hanya di lapangan, tetapi juga dari rekaman yang beredar, terlihat gas air mata ditembakkan ke tribun.

Semua orang mengerti bahwa sepak bola adalah olahraga yang bergengsi, seolah-olah menang dan kalah adalah harga mati, fanatisme yang mengarah pada membela klub favorit  secara membabi buta, mengakui ledakan emosi, kemarahan, kebahagiaan sebagai indikator terkuat sepak bola tidak dapat dipisahkan dari sebuah kelompok. . fanatisme.

Tindakan represif aparat dalam menghadapi kericuhan massa, penggunaan gas air mata yang diarahkan ke tribun penonton seharusnya dilarang, faktor pemicu kepanikan penonton berhamburan keluar stadion, lalu menumpuk di satu pintu meregang nyawa karena sesak napas, terinjak,dan tergencet. Jika gas air mata menjadi faktor meninggalnya ratusan nyawa tentu harus ada pihak yang paling bertanggung jawab dalam peristiwa ini.

Dalam setiap kegiatan olahraga, peran negara sangat penting untuk menghadirkan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat.Peran aparat keamanan adalah untuk menjaga dan melindungi orang, bukan memberi rasa takut , bertindak kasar dan ganas.

Tragedi Kanjuruhan memberi pesan penting bagi kita bahwa tidak layak nyawa melayang hanya karna sebuah permainan (sepak bola). Dalam islam Nabi saw bersabda "Sesungguhnya dunia ini dan seisinya hancur lebur itu lebih ringan di sisi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak."




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline