Lihat ke Halaman Asli

Asa Jatmiko

Tuhan menciptakan kita sebagai kreator, bukan tawanan.

Perjalanan Indera Menuju Brata

Diperbarui: 15 Mei 2016   16:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebuah catatan proses "Petuah Tampah" selanjutnya

Indera atau indria merupakan alat penghubung/kontak antara jiwa dalam wujud kesadaran rohani diri dengan material lingkungan. Dalam indra yang lima, disebutkan antara lain: mata, telinga, kulit, lidah dan hidung. Dalam indra yang sebelas, dalam Hindu, selain lima yang telah disebutkan masih ada enam yang lain, yakni: tangan, kaki, anus, mulut sampai hidung (bicara - bernafas - makan) dan alat kelamin. Kemudian indra kesebelas adalah pikiran.

Kehadiran Tyas (hati) dalam "Petuah Tampah" disertai kehadiran empat saudara sebagai "sedulur papat" merupakan upaya permenungan kembali akan asal-muasal jati diri setiap pribadi. Dalam kebudayaan Jawa dipahami bahwa kehadiran setiap pribadi selalu diiringi dengan hadirnya "sedulur papat" yang mengasuh bagai ibu, yang membantu bagai ayah, yang menemani bagai sahabat dan yang juga sering memgingatkan bagai saudara.

Representasi atas hidup dan berkembangnya indra pada Tyas memiliki keterkaitan yang khas dengan empat sosok yang mengiringinya. Dalam konsep "Petuah Tampah", sosok-sosok tersebut menyepuh fungsi mata, telinga, angan (keinginan/kehendak) dan pikiran. Tyas yang pada gilirannya menjadi sentral makna setiap pribadi sebagai "manusia", dapat saja terombang-ambing oleh gelinjang nafsu, angan dan pikiran, namun keberadaanya tetap sebagaimana semula: menjadi sumber kebaikan, kesucian dan kesetiaan bagi setiap pribadi.

Bergulirnya waktu dan proses, empat sosok yang mengiringi Tyas dalam kebaikan, kesucian dan kesetiaan berangsur lumer dan menjelma empat sosok yang menawarkan/memprovokasi Tyas mengabaikan nilai dan janji hati tersebut.

Masyarakat "Petuah Tampah" kemudian menjumpai sosok yang menyertai Tyas berjumlah delapan. Mereka mengepung Tyas dari segala penjuru mata angin: timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut, utara dan timur laut. Mereka membuka sekaligus menutup pintu-pintu kebajikan. Mereka menuntun sekaligus membantai Tyas dalam renungan panjang perjalanan hidup sebagai pribadi yang kuat dan mampu "memimpin" dirinya menyebrangi jembatan derita menuju kekekalan.

Delapan sosok tersebut secara filosofi kemudian dapat ditarik ke dalam pemaknaan bagaimana Tyas sebenarnya tengah "mengamati, mempelajari, menuntut ilmu dan memerangi egoisme dirinya" kepada hastabrata. Delapan "laku hidup" untuk setiap pribadi mencapai pengendalian diri dan memimpin dirinya. Semesta telah menjadi guru paling bijaksana baginya dapat memunguti makna hidup.

Guru yang mengarahkannya kepada Yang Maha Hidup, Sang Guru Sejati, adalah apa yang telah diberikanNya kepada Tyas sejak muasal dia berawal. Ialah Bumi, Matahari, Bulan, Samudra, Bintang, Angin, Api, dan Air, berikut dengan pemaparan kekuatan dan kelemahannya, kelembutan dan keuletannya, kebaikan dan kesetiaannya. Semesta itu sendiri.

Kemudian dari sana tersebutlah sebuah masyarakat sosial: masyarakat "Petuah Tampah". Sampai ketemu di Balai Budaya Rejosari, 25 Mei 2016. Mari kita merayakan dan mensyukuri hidup dan segala kesulitannya, sebagai "jembatan penyebrangan" menuju hari ini dan masa depan dengan lebih baik.

Salam budaya.
asajatmiko
#berteateritukeren

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline