Lihat ke Halaman Asli

Asa Jatmiko

Tuhan menciptakan kita sebagai kreator, bukan tawanan.

Menganyam Potensi dan Peluang

Diperbarui: 11 Mei 2016   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sebuah catatan perjalanan "Petuah Tampah" di Galeri Indonesia Kaya

Hampir seluruh personel Teater Djarum menyatakan hal yang sama, bahwa mereka merasakan beban berat atas tanggungjawab untuk menampilkan suguhan pentas teater yang menarik, enak ditonton sekaligus memberi "sesuatu" kepada penonton yang hadir di Galeri Indonesia Kaya, pada 8 Mei 2016.

Tentu pernyataan (dan pengakuan) ini mempengaruhi bagaimana kesiapan mental tim Teater Djarum. Dan hal tersebut mengada dan menguat terutama selepas pementasan di Gedung Kesenian Jepara (22/04/16). Kegembiraan akan bermain di salah satu gedung kesenian di Jakarta seolah tertepis oleh beratnya beban tersebut.

Setiap latihan-latihan, diupayakan dipersiapkan sebaik-baiknya. Tempat latihan dibuat semirip mungkin dengan keluasan area panggung yang nantinya dipergunakan. Detail set dan properti "ditapeni" lagi dan dicari bobot artistik dan motivasinya oleh Beny Widyantoro, Rofiq Setiawan, Khoirul Anam, Kasmin dan Zamroni. Demikian juga komposisi-komposisi musik, tim yang terdiri dari Heru Nugroho, Abdul Munif, Aniek, Sumarlan dan Sriyatun bergerak lebih keras dengan menjalankan latihan-latihan secara mandiri. Tata lampu oleh Acong Sudarmono, mencarikan sudut-sudut dan kemiringannya hingga kami merasa pas. Tata rias dan kostum oleh Umi Setiyani, didiskusikan dan dibongkarpasang kembali hingga menemukan kesepakatan yang diinginkan bersama.

Beberapa hari menjelang berangkat beberapa aktor mulai habis suaranya, radang dan parau. Beberapa tampah sudah mulai robek dan tak karuan bentuknya. Musik, belum juga menemukan greget irama yang diinginkan. Beberapa personel "terganggu" dengan suara-suara minor dari luaran, luluhkan semangat. Beberapa hari menjelang berangkat tim Petuah Tampah justru berada pada stamina yang susut.

Sisanya adalah pemeliharaan semangat, tetap bertandang ke "padang Kurusetra" Galeri Indonesia Kaya Jakarta, hidup atau mati. Itulah satu-satunya bekal keberangkatan tim. Dua hari menjelang berangkat, Putu Wijaya mengirim surel memastikan akan datang menonton, sembari menyisipkan pesan "semangat" untuk tim.

Kami menganyam "tampah" menuju Galeri Indonesia Kaya dengan tertatih tapi pantang menyerah. Di sepanjang perjalanan KA Argo Muria Tawang - Gambir, di antara kami masih berbincang akan panggung, ada juga yang nampak "ditenang-tenangkan" dirinya, ada yang sibuk menunggu kapan kereta api berhenti di stasiun agar bisa turun dan merokok, sementara di sudut antara pintu masuk dan toilet ada juga yang limbung karena mabok perjalanan.

Lesung yang kami usung dari Kudus, telah mendahului sampai di Jakarta. Tetapi tak bisa masuk mendekati lokasi di lantai 8. Terpaksa menunggu tim, untuk kemudian bergotong-royong mengangkut lesung nan berat itu ke lift barang dari lantai dasar hingga lantai 8. Itu pun setelah jam 22. Aturan di West Mall, Grand Indonesia memang begitu. Dari lift lantai 8, dipanggul berramai-ramai menuju gedung pertunjukan yang berjarak beberapa ratus meter.

Begitulah semuanya dilakoni dengan tekun oleh tim Petuah Tampah. Hingga berlangsung gladi bersih dengan lancar.

Di balik semuanya itu, saya melihat masing-masing personel di tim adalah pribadi-pribadi yang baik nan potensial dalam berkarya di kesenian. Potensi mereka yang kuat, telah dibuktikan dari terus berkembangnya riak-riak kreativitas. Proses ber-"Petuah Tampah" seakan menyala dan tak ada matinya, berkembang dan berbiak.

Sutrimo, Andreas Teguh Prayoga, Masrin Brando, Jasmi, Nur Khamidah, Purna Irawan, Mur Pujiningsih, Ngatini, Hafidl, Soleh, Asri dan Dika seolah tak mengenal lelah "mencari" bentuk dan nafas baru dalam eksplorasi permainannya. Saya sebagai sutradara melihat kemajuan-kemajuan penting tersebut. Meskipun langkah-langkah kecil, kemajuan-kemajuan itu dicapai dengan bermakna. Dicatat, diulang, diolah kembali untuk kemudian dimaknai dalam adegan. Untuk mencapai "anyam-anyaman tampah" yang utuh, kuat, teguh dan memiliki makna.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline