Lihat ke Halaman Asli

Asa Jatmiko

Tuhan menciptakan kita sebagai kreator, bukan tawanan.

Hidup adalah Menunda Kekalahan

Diperbarui: 19 Oktober 2015   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia tidak pernah mengerti dan mungkin juga tidak tahu mengapa dilahirkan, menjadi ada dan hidup di atas bumi ini. Tetapi barangkali di situlah, manusia diharapkan mengerti bahwa dia ada bukan tanpa makna, bukan tanpa arti, bukan tanpa tujuan.

Barangkali setiap insan manusia tidak lebih dari sebutir pasir di pantai, di antara milyaran butiran pasir yang lain. Kecil. Dan seolah hadir tanpa memberi "pengaruh" apapun, pun saat ia tiada. Seolah ada dan tiadanya sebutir dua butir, dunia ini terus bergulir hidup dan terus berlangsung.

Tetapi itulah manusia. Meskipun kecil, tak berdaya, di dalam dirinya memiliki kekuatan untuk memberi makna, untuk menggoreskan tinta emas dalam kehidupannya, untuk (paling tidak) menjadi penanda bahwa ia hadir ke dunia tidak sekedar hadir, minimal bagi dirinya, syukur-syukur bagi orang-orang yang dicintainya, syukur-syukur bagi orang di sekitarnya, syukur-syukur bagi bangsa dan negara.

Aku mempercayai bahwa manusia tetap dituntut untuk menjaga kesadaran akan hal ini, bila ia tidak mau disebut sebagai zombie, sebagai orang yang sudah mati sebelum mati. Tidak usah mengangankan menjadi seorang pahlawan yang dikenang dan dikenal semua orang, menjaga kesadaran atas entitas diri sebagai manusia saja sudah merupakan perjuangan yang memiliki arti yang dalam.

Seorang germo begitu menyayangi "anak-anak"-nya di lokalisasi, Seorang pemuda (Rohimah ya namanya?) menyayangi Tuminah yang seorang PSK, Julini yang banci begitu mencintai Rohimah, tukang obat mencintai lokalisasi yang melariskan dagangannya, satpol pp mencintai pekerjaannya dan siap "merampungkan" apapun yang diperintahkan kepadanya, termasuk menggusur lokalisasi. Dan sebagainya, dan seterusnya.

Tetapi toh, semuanya berakhir di kekalahan, kata Chairil Anwar. Dan semuanya telah mengerti akan hal itu. Hanya tinggal soal waktu, kalah sekarang atau nanti, kalah hari ini atau lusa. Kembali lagi bahwa persoalannya adalah bagaimana daya juang kita. Soalnya adalah bagaimana kita memaknai dan memberi daya pada perjuangan tersebut.

Julini akhirnya memang mati ditembak petugas satpol pp. Tetapi ia merasa menang. Karena saat itulah cintanya bertemu, hatinya didamaikan: menghembuskan nafas terakhir di pangkuan orang yang dicintainya dan selama ini dia perjuangkan. Julini akhirnya tertembak, tetapi jiwanya justru dimenangkan dan didamaikan. Julini telah menorehkan tinta emas bagi hidupnya, dan karenanya hidupnya menjadi bermakna.

Begitulah, kemenangan bukanlah suatu materi yang bisa digenggam, bisa diraba, bisa dijilati, bisa dinaiki. Kemenangan yang aseli adalah puncak dari seluruh perjuangan yang dilewati tanpa harus mengkhianati diri sendiri. Paling tidak, ketika aku menyengaja datang ke Gedung Teater Kecil Kampus ISI Solo, aku memiliki alasan untuk memilih nonton: belajar tentang hidup. Bukan sekedar hadir karena kebetulan, apalagi sekedar hadir kosong, tanpa alasan.

Aku belajar banyak dari menonton Opera Kecoa (btw, kalau yang nyanyi itu para aktor-aktornya mungkin akan lebih cantik, ya? mungkin loh...), garapan mas Puntung CM Pudjadi bersama Dewan Teater Yogyakarta. Permainan para aktor yang berkelas telah ditunjukan mas Udik Supriyanta, mas Wahyana Giri Mc, mas A Daru Maheldaswara dan mas Pejabat (lawan mainnya Bambang Bambang Ksr siapa namanya, mas?). Memukau. Aku suka. Musiknya juga bagus, mas Pardiman Djoyonegoro. mas Mohammad Poerwono, Selamat dan sukses Dewan Teater Yogyakarta. Terimakasih banyak atas pembelajarannya.

salam,
asa jatmiko




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline