Lihat ke Halaman Asli

Asa Jatmiko

Tuhan menciptakan kita sebagai kreator, bukan tawanan.

Geliat Gairah Hidup Seorang "Bocah Angon"

Diperbarui: 19 Oktober 2015   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seragam biru-biru yang disandangnya semenjak menjadi seorang petugas sekuriti PT. Djarum pada 7 Oktober 1994 itu, melekat hingga ke dalam kehidupannya sehari-hari. Seragam biru-biru itu, baginya telah mengajarkan dan mendidiknya untuk menjadi manusia yang disiplin. Baik di dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai sekuriti, juga menanamkan disiplin pada kegiatan usahanya yang dibangun di rumahnya. “Ada dua nilai yang saya pegang selama ini, untuk memotivasi saya menapaki masa depan yang lebih cerah. Dua nilai itu adalah Kedisiplinan dan Ketelitian,” ujar Mohamad Muslih.

Lalu tambahnya, “ketelitian menurut saya penting. Saya belajar dari memperhatikan hal-hal sepele, barangkali.” Di dalam tugasnya, saat menerima tamu-tamu yang hendak berkunjung ke kantor, tamu non-karyawan harus meninggalkan kartu identitas diri. Dia memperhatikan nomor identitas pada KTP atau SIM, angka yang ditulis di nomor KTP atau SIM pasti tidak ditulis secara serampangan. Tetapi ditulis dengan rinci, tepat dan teliti, sehingga setiap orang memiliki nomor identitas diri masing-masing. Muslih terinspirasi, “jika demikian saya juga seharusnya menanamkan nilai kedisiplinan dan ketelitian itu dalam kehidupan saya sehari-hari.”

[caption caption="Muslih di depan rumahnya. (foto oleh Teresa Rudiyanto)"][/caption]“Saya hanya bocah angon (Bhs Jawa yang berarti: penggembala ternak) biasa saja, yang ingin memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup yang lebih baik,” katanya. Pengakuan Mohamad Muslih, lelaki yang kini berdomisili di Desa Klumpit, Kudus ini seakan merefleksikan apa yang saat ini tengah getol ia lakukan di luar waktu dinasnya, yakni penggemukan sapi.

Adalah seorang Mohamad Muslih, memulai kegiatannya memelihara sapi sejak tahun 2012. Usaha yang dilakukannya tidak berhenti di situ saja, penggemukan sapi. Seperti yang telah menjadi tekadnya, ia sudah dan tengah mengembangkan kegiatannya ke pengembangan pakan ternak, pengobatan ternak secara herbal, pemanfaatan kotoran menjadi biogas, yang dikembangkan secara mandiri dan ramah lingkungan. Dengan semangatnya untuk menjadikan dirinya berhasil mengolah semua itu dengan baik hari ini, tidaklah berarti usaha yang dirintisnya tersebut tidak menempuh resiko.

“Pertama kali saya mengembangkan usaha pakan ternak ini, saya mengalami kerugian 9 juta rupiah. Waktu itu gagal sama sekali. Ditambah pengetahuan saya waktu itu juga kurang, sehingga percobaan-percobaan membuat pakan ternak sapi membuahkan kegagalan,” kenang Muslih. Akan tetapi kegagalan tersebut tidak membuatnya patah arang. Muslih kembali berusaha. Di antaranya dengan mulai rajin mengikuti sarasehan-sarasehan tentang peternakan, mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan dinas pertanian bidang peternakan Kabupaten Kudus. Ilmu yang diserapnya kemudian langsung dipraktekannya di rumah.

Dari yang semula hanya memiliki 2 ekor sapi, kemudian bertambah hingga hari ini ia memiliki 6 ekor sapi dengan jenis Limosin. Keenam sapinya berada di dalam kandang sederhana seluas 3 x 8 m yang dibangun di samping rumahnya. Dengan pakan ternak hasil fermentasi yang dibuatnya, kotoran sapi-sapinya tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. Oleh karena itu, tetangganya tidak merasa terganggu.

Di rumahnya, ia sudah memanfaatkan energi biogas dari kotoran sapi-sapinya. Satu buah lampu petromax berbahan bakar biogas, menerangi ruang tamunya. Sementara di dapur, kompor gas yang dimilikinya pun sudah menggunakan bahan bakar biogas. Sebuah tabung gas LPG 12 Kg, tergeletak di sudut dapur, kotor dan using, karena sudah sekian lama keluarga Muslih tidak lagi menggunakannya. Pemanfaatan biogas ini sangat membantu penghematan biaya ekonomi rumahtangganya, karena bahan-bahannya tidak ada yang didapatkannya dari membeli.

Dia juga sangat menyadari arti pentingnya lingkungan. “Menyelamatkan lingkungan hidup dari hal yg kecil diawali lingkungan sekitar,” tekad Muslih. Sebidang tanah yang tidak terlalu luas di belakang rumahnya, ia bangun sebuah ‘rumah pupuk’ secara sederhana. Di sampingnya, ada lahan kecil yang dipergunakannya untuk melakukan percobaan-percobaan dari pupuk yang diproduksinya. “Kangkung yang saya coba tanam di sini, karena mempergunakan pupuk alamiah, rasanya lebih enak.” Dia juga sudah membeli bibit-bibit tomat, cabe dan beberapa tanaman lain untuk diujicobakan di lahannya dengan pupuk alamiah yang dibuatnya.

 

[caption caption="Muslih dan Sapi Limosin miliknya. Foto oleh Teresa Rudiyanto."]

[/caption]Mengenai usahanya membuat pupuk alamiah, Muslih sudah berhasil mengirim 2 ton ke peternak lain di bawah binaan UNDIP. Dia berharap, ke depan ia dapat memperoleh bahan pakan yang murah, seperti limbah pabrik gula tumbu (Istilah Bhs Jawa, gula tumbu adalah gula merah yang diproduksi dari tebu, secara tradisional oleh petani tebu di Kudus), limbah ketela pohon, dan lainnya sebagai bahan untuk membuat konsentrat sendiri. “Saya ingin suatu saat bisa menyewa lahan yang agak luas, supaya bisa mempraktekkan langsung bagaimana pupuk yang saya buat mampu membuat tanaman lebih baik kualitasnya dan lebih sehat karena tidak memakai pupuk kimia,” ujar Muslih.

Istrinya yang juga bekerja sebagai karyawati harian di Djarum, juga terlihat selalu mendukung kegiatan-kegiatan suaminya. Dia justru menjadi partner yang baik, yang saling melengkapi bagi Muslih. “Istri saya itu sangat mengerti saya. Kalau saya sedang suntuk banyak pikiran, memikirkan ternak sapi, dia yang memompa semangat saya. Saya sangat bangga kepadanya,” kata Muslih tentang istrinya. Mereka sudah dikaruniai 3 orang anak yang mulai beranjak remaja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline