Lihat ke Halaman Asli

Jakarta Kota Miskin yang Kaya?

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="250" caption="(comotan dr google.com)"][/caption]

Sekian tahun lalu kami reuni tiga sekawan di tepi sungai Kapuas. Sambil meneguk kopi panas, seorang teman dari Jakarta berseloroh, "Kalau mau sukses, pergilah ke Jakarta. Di sana tempatnya uang! Jangan jadi jago kandang!" Seorang teman tergiur lantas meluncur. Dalam hitungan tahun ia pun sukses.

Perjumpaan-perjumpaan berikut terjadi di Jakarta. Beberapa kali saya ditantang untuk berpetualang di sana. Heran, saya tak pernah tertarik. Otak bodoh saya malah melintir, "Dari mana uang Jakarta ini didapat? Kok tidak ada hamparan tambang atau perkebunan yang menandakan kekayaan? Di sana-sini hanya teronggok kemewahan gedung bertingkat dengan segala hilir mudik manusia yang berjubel! Heran...!"

Tanpa maksud mencari jawab, di saat hidup sebagai ‘kutu loncat', saya selalu meninggalkan pertanyaan usil untuk beberapa orang setempat. Melihat perusahaan tambang, kayu, dan perkebunan besar yang terpampang, satu pertanyaan terlontar, "Ini milik siapa?" Mulai dari Manokwari, Timika, Kalsel, Kalteng, Kalbar, Bali, dan NTT ternyata memiliki jawaban yang sama, "Bos kami orang Jakarta!"

Ini hanyalah pemandangan sambil lalu dan tidak memadai untuk dijadikan sebuah survei. Akibatnya, kesimpulan bisa sedemikian simpel dan tidak tepat. Saya hanya ingin menuju realitas terkini: Indonesia kaya raya, tetapi rakyatnya miskin luar biasa. Situasi paradoks itu sepertinya sulit diatasi, apalagi ditimbuni arus dunia liberal yang makin menghebat. Residu kekalahan yang membualkan kemiskinan menarik untuk sedikit dilihat.

1. Karakter Kerja Keras

Sila kelima Pancasila dengan tegas mencita-citakan kesejahteraan yang adil bagi semua. Namun, hidup semacam itu tidak datang begitu saja. Pencipta telah menganugerahkan, manusia kemudian mengusahakan. Hanya dengan cara demikian, maka kekayaan alam bisa memberikan manfaat bagi kehidupan. Hidup malas akan membuat anugerah pencipta yang begitu luar biasa itu sia-sia tak berguna.

Seringkali terjadi, ketika situasi miskin mendera diri, Pencipta diprotes, disalahkan, dan dijadikan biangnya. Lebih-lebih lagi, apabila dibandingkan dengan orang lain yang lebih makmur, kemiskinan yang dialami semakin menistakan diri. Manusia menyangka, Pencipta telah bertindak tidak adil dan hanya memberikan sedikit kepadanya. Orang lain diiri dan kemudian tergolek merana sendiri .

Koes Plus pernah membariskan kata-kata indah untuk menandai negeri ini, "Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu jadi tanaman." Namun, kenyataan ini bisa menina-bobokan. Fakta membuktikan, di dekat sumber kekayaan alam, masyarakat justru terpinggirkan, baik secara ekonomi maupun secara mental. Mereka bak bebek mati kelaparan di lumbung padi.

Di mana letak sumbatannya? Rupanya, salah satu titik pangkalnya adalah kemampuan untuk "fight" yang sangat lemah. Dalam arus kemajuan yang merangsek, masyarakat dibuat gagap, karena pola hidup alami yang selama ini digeluti. Olah berpikir dan skill bergerak tak sebanding dengan perkembangan yang ada. Akhirnya, jangankan "fight", mereka sudah tergolek sebelum kompetisi dimainkan.

Bangsa kita memiliki pengalaman dijajah Eropa ratusan tahun. Kekayaan alam diperas dan diusung ke luar negeri. Selain ditinggali ampas, mental dijajah terbangun begitu kuat. Kini setelah merdeka, karakter kerja keras untuk berdiri di atas kaki sendiri juga tak tersentuh. Kolaborasi pemerintah dan pemilik modal makin mengesampingkan kebutuhan yang hakiki ini. Seakan-akan realitas ini sengaja dibiarkan demi kesejahteraan segelitir orang. Keadilan seringkali dimaknai hanya sekadar membagi uang sebagai penyumpal mulut onar.

2. Kekayaan Selalu Menggelisahkan

Pergulatan tentang miskin dan kaya tak pernah selesai daya tariknya untuk diulas. Makin dibahas, makin ‘bundas', tak dibahas makin ‘amblas'. Mungkin hal ini tak sampai teratasi sempurna, tetapi tetap pantas untuk ditipiskan. Memang, untuk hidup sejahtera manusia harus berusaha. Namun, setelah kekayaan didapat, manusia tidak bisa berhenti di tempat. Ada hal yang lebih luhur yang pantas dikejar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline