Lihat ke Halaman Asli

Seorang Pincang Ujung Desa

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Negeri ku dipasung kabut

Nyeri dingin menjalar hingga lutut

Samar jalan jalan panjang

Adakah hangat sang mentari

Antara kemarau panjang ini

Sinar lampu pijarkehangatan semu

Kuliah subuh kuliah moral tanpa arah

Diantaranya berteriak rapalan agama

Ayat siap saji sesuai imajinasi

Dan dibelakang, dua tangannya

Memegang rupiah tanpa kira

Tertawa-tawa girang, dirangkul cela

Apakah kebenaran selalu menarik?

Disajikan penuh intrik dan gelitik?

Oh, ilmu agama bahan obrolan santai

Oh, ayat tuhan selalu menyenangkan

Tanpa telaah panjang, tanpa analisis matang

Pun tanpa membawa kitab, mulut-mulut merapal lancang

Ramadhan adalah waktu tepat pedagang musiman

Iklan kemudian program balut hijab,media penipu mendadak soleh

Dan pabrik moral mengemas produk instant

Gratis karena sedekah dibalik balutan

Ekonomi papa dan fakir miskin nurani

Saling injak satu dengan yang lain

Kala hampir senja bintang gemintang di angkasa

Samar-samar terlukis kemalangan dalam lukisan

Dirgantara udara yang rusak dan sesak

Aku berkelana di tanah kering kerontang tentang dunia

Bersahaja menolak harta benda dan kharisma

Bertemu lelaki lusuh di negeri yang kumuh

Memuja tuhan sepenuh luruh kemudian utuh

Kaki kirinya yang pincang lebih dahulu menapak surga

Yang lain menyinari sebuah desa dengan dakwah membahana

(AS.Amri, Yogyakarta 1 Agustus 2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline