Setelah pada pertemuan kuliah sebelumnya -- sebelum merebaknya pandemi -- yang membahas lebih lanjut mengenai masyarakat bahasa (Speech Community) dari berbagai pakar sebagai perpanjangan tangan penjelasan teori strukturalisme yang dicetuskan Ferdinand De saussure, yaitu: langue, Langage, Parole.
Pada definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli, sebagai pribadi saya lebih mencondongkan diri atau ikut ambil bagian pada definisi masayarakat bahasa yang di cetuskan oleh Noam Chomsky yang berujar bahwa komunitas bahasa merupakan komunitas ujaran yang benar-benar homogen yang anggotanya memiliki kompetensi bahasa yang sama. Disini kita perlu menggarisbawahi bahwa kompetensi yang dimaksud oleh Chomsky adalah sebagaimana pembacaan Joseph (1989)[1] bahwa istilah kompetensi lebih dekat kepada langage. Lebih lanjut Langage dijelaskan sebagai sebuah kombinasi antara Langue (abstrak sistem) dan parole (konkret sistem).
Competence yang kemudian dipahami sebagai landasan dasar dari sebuah masyarakat bahasa melahirkan beberapa pendekatan untuk menguji seberapa penting dan homogen peranananya.
Homogenitas Competence dapat melihat seberapa besar pengaruh pemerolehan bahasa dalam komunitas bahasa, atau kontak bahasa dari masyarakat bahasa yang lain. Maka, dengan sudut pandang yang demikian juga kita dapat memetakan lingualitas suatu masyarakat bahasa, tentu dengan melihat besaran performance yang dihadirkan dalam masyarakat tersebut
Koentjaraningrat[2] dalam paparannya mengenai bahasa sebagai sebuah produk mentalitas kebudayaan kembali menegaskan hakikat penggunaan bahasa yang patuh terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, bentuknya cair dan saya mengistilahkannya sebagai likuiditas bahasa.
Likuiditas bahasa atau kecairan dari sebuah bahasa pada umumnya dapat ditemukan pada jenis masyarakat bahasa yang multilingual. Artinya terdapat proses panjang pemerolehan bahasa yang ditentukan melalui kontak bahasa pada masayarakat bahasa yang lain karena sedikit banyaknya lingualitas yang dimiliki oleh suatu masyarakat akan berpengaruh signifikan pula pada performance yang mereka hadirkan.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa masyarakat monolingual memiliki perbedaan yang signifikan dengan masyarakat bilingual ataupun multilingual. Pada gejala performance yang dihadirkan masyarakat monolingual, tentu tidak akan ditemukan adanya campur dan alih kode bahasa, ataupun penyimpangan-penyimpangan bahasa yang lain. Sebab, homogenitas competence bahasa yang dimiliki dalam masyarakat monolingual berlandaskan pada proses pemerolehan bahasa yang minim terjadinya kontak bahasa
Bilingual dan Bilingualisme
Dwibahasa atau bilingual dalam kamus linguistik[3] dijelaskan sebagai mampu atau biasa memakai dua bahasa, serta bersangkutan dengan atau mengandung dua bahasa. Lalu bilingualisme atau kedwibahasaan sendiri diartikan dengan penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau suatu masyarakat.
Berdasar penjelasan tentang bilingual dan bilingualisme bahasa di atas, penulis menemukan kesepakatan bahwa bilingual dan bilingulisme terjadi pada tataran performance bahasa seseorang ataupun masyarakat bahasa tertentu.
Dalam sebuah jurnal yang diinisiasi oleh Studies in Bilingualism(Plaza-Pust dan Morales-Lpez 2008), dalam salah satu kajiannya yang membahas Code-mixing in signs and words in input to and output from children oleh Anne Baker dan Beppie Van den Bogaerde sebagaiman pendapat-pendapat umum dalam kajian sosiolinguistik yang menekankan pembahasan bahwa faktor umur memiliki pengaruh yang signifikan, khususnya pada anak-anak. Atas dasar pandangan umum itulah, Anne Baker dan rekannya kemudian melakukan penelitian kepada enam anak dimana tiga dintaranya merupakan tuna rungu.