Beberapa pertanyaan menyeruak begitu saja bak laron yang munculentah darimana pasca hujan deras yang mendera persemayamannya. Seperti itulahpertanyaan mengenai analogi yang membuat pening kepala.
Ya, dari beberapakontak yang kusimpan dan menampilkan 'cerita'hidupnya melalui kamera yangtertancap pada gawai-gawai yang tidak jelas juntrungannya, lalu disampaikankepada khalayak dunia ramai, sebagian orang memberikan pandangan dunianya melalui penyederhanaan yang ia gunakan. Misalnya, sakit hati itu sepertimenancapkan paku pada kayu yang lalu kamu mencabut paku itu dari kayunya.Pandngan itu bias makna.
Saya pun teringat beberapa cerita 'M. B. Rahimsyah' yang tenarpada masanya. Dala buku itu diceritakan bahwa ada seseorang yang menyesal atasapa yang telah dilakukannya semasa hidupnya, ia menyesal atas ambisi dia untukmemimpin perubahan baik.
Dikisahkan disana, orang itu meraih ketenarannya padamasa muda, lantas ia berambisi untuk menjadi pemimpin sebuah negara, haltersebut ia landaskan pada fenomena yang terjadi di sekililingnya dimanamasyarakat tidak lagi menjadi masyarakat yang ideal dalam pandangannya.
Pandangan tersebut lalu beradu dengan pandangan pragmatisnya,sehingga diceritakan orang tersebut gagal dalam memenuhi ambisinya. Lalu, iaturunkan ambisi itu, namun yang didapatinya kegagalan lagi. Di akhir, orangtersebut diceritakan menyesal mengapa ia tidak memimpin dirinya terlebih dahulusaja sebelum berambisi menaklukkan segalanya.
Cerita tersebut mengandung banyak implikasi yang berakibat padamunculnya sikap pesimis dalam diri pembacanya, walapun narasi yang diusungadalah narasi untuk melakukan intropeksi diri. Setelah itu, banyak orang denganmentah-mentah menggunakan dalih itu sebagai analogi yang terlihat manis dansempurna. Namun, lagi-lagi hal itu menggugah selera saya untuk menggugat.Mengapa?
Rekonstruksi dengan cara yang sederhana sangat fatal akibatnyadalam mendefinisikan kompleksitas suatu objek tertentu, padahal tidaksesederhana itu ferguso... Ambillah contoh penyederhanaan tentang sakit hati.Hal metafisis merupakan hal kompleks untuk diurai benang merahnya.
Sebab iakasat mata, tidak ada aspek indrawi yang terlibat didalamnya, sehingga jika halitu didekati logika empirisi, tidak lain tidak bukan yang terjadi adalagperdebata. Panjanh tidak berkesudahan. Jika memang boleh diambil aspekpartikularnya saja, maka jangan salahkan terhadap semesta kemungkinanuniversalitas akibat relativisme yang dibebankan terhadap hal ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H