Lihat ke Halaman Asli

Cinta Kau & Dia… (Sisi Lain Masalah AA dan Rn)

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terinspirasi status seorang sahabat di Facebook, yang juga merupakan sebuah lagu ciptaan Ahmad Dhani (kalo tidak salah)..  Dan juga seorang sahabat lama yang akan menikah dalam waktu dekat, rasanya ingin menulis saja.. Setelah sekian lama tidak sempat (tepatnya tidak disempatkan.. :) ) untuk menulis di rumah sehat Kompasiana ini.  Kembali ke persoalan, sebuah akar permasalahan yang timbul karena persoalan : PILIHAN. Setiap orang selalu saja dihadapkan pada sebuah pilihan, termasuk didalamnya adalah pilihan untuk TIDAK MEMILIH.

Sebuah PILIHAN selalu membawa konsekuensi. Konsekuensi baik ataupun buruk menurut persepsi masing masing pihak, dan hebatnya persepsi masing masing pasti beda. Pihak yang merasa dirugikan selalu berpendapat bahwa yg pihak lain yang bersalah. Yang merasa diuntungkan juga demikian. Persepsi selalu dipengaruhi oleh kondisi HATI seseorang. Dalam dunia pemasaran, PERSEPSI inilah yang selalu dipelajari dan "dimainkan" oleh pemasar, bagaimana menciptakan dan membentuk persepsi pembeli agar dapat membeli produk yang ditawarkan, meskipun harganya kadang tidak masuk akal. Tidak semua barang yang harganya murah selalu laku dijual, dan belum tentu barang yg harganya terasa tidak masuk akal tidak laku dijual. Lagi lagi masalah PERSEPSI. Apakah persepsi itu salah? Silakan saja...

 

Kembali ke selingan... J

Persoalan Pilihan terjadi di setiap sudut dan masalah setiap insan manusia. Tidak memandang tembok yang memisahkan manusia, status, agama, jenis kelamin, kulit, dll. Semua mengalami hal yang sama. Lagi lagi: PILIHAN. Terus.. bagaimana hubungannya dengan judul diatas ??

 

Seseorang yang akan memilih untuk tidak hidup selibat, tentunya paling tidak mengalami proses dalam hal memilih. Bisa harus memilih salah satu pilihan pasangan hidup, bias juga memilih untuk menikah (yang mungkin tadinya sebenarnya keinginan untuk menikah itu jauh dari pikirannya).  Pilihan yang berat tentunya bila saat akan menentukan ada 2 pilihan yang sama-sama masuk dalam criteria Pilihan Diri. Ke dua-duanya saling mengisi satu dengan yang lain. Sesuatu yang tidak ada dalam diri yang lain, ada dalam diri yang satunya. Sulit memang.  Saat itulah, perlunya Kekuatan lain yang harus dimintai petunjuk (Sang Empunya Hidup), tapi itupun tergantung bagaimana proses meminta petunjuknya, pasrah, meletak ataukah masih juga tawar menawar dengan pemberi petunjuk. Tetapi namanya bukan manusia bila setelah itu terus berjalan dengan lurus.. selalu saja ada (sedikit) penyesalan, kekecewaan, pertanyaan ‘kenapa, kenapa dsb'. Itu timbul setelah melaksanakan PILIHAN. Terus timbulah rasa Aku Cinta Kau dan Dia... Sebenarnya rasa itu tidaklah salah, tergantung bagaimana kita menyikapi rasa itu. Perlunya penyelesaian masalah tersebut sebelum terlanjur berjalan jauh ke depan, dan menimbulkan masalah yang lain. Karena akan mempengaruhi hubungan yang sebenarnya sendiri. Pilihan untuk mendua juga bisa dimungkinkan, tetapi bagaimana pihak yang merasa di-duakan? Dan menurut saya mendua bukanlah PILIHAN.

 

Belum lagi, bila sudah MEMILIH pada saat itu dan pada waktu itu tidak ada masalah berarti, namun dalam berjalannya waktu Sang Diri bertemu dengan Sang Diri Lain yang menyentuh hatinya, yang bisa menggoncang jiwanya, menggoncang pikirannya dan yang ‘DIRASA' lebih dari pasangannya sekarang dll...  Terus timbul lagi pikiran, kenapa dulu harus memilih... Terkadang bahkan sampai menyalahkan Sang Empunya Hidup, kenapa harus bertemu pada saat diri ini sudah MEMILIH? Apabila Sang Diri tidak kuat, maka timbulah masalah-masalah yang sekarang ini banyak sekali terjadi. PERSELINGKUHAN atau yang dianggap legal : POLIGAMI.

 

Terkait persoalan yang saat ini masih banyak dibincangkan banyak orang (AA dan Rn), apakah hanya hal inilah yang menjadi persoalan sehingga harus ‘MEMILIH'  mengakhiri hidup sesama manusia lainnya? Sebegitu berharganya kah perasaan dan Rasa itu sehingga harus meminta korban? Atau mungkin persoalan lain?

 

Marilah kita semua merefleksikan diri kita.. MENGOLAH RASA adalah kunci. Apabila kita bisa mengolah rasa yang timbul itu dengan bijaksana, tentunya akan menjadi lebih baik. Rasa itu dapat disalurkan dengan tanpa menyakiti pihak lain, yang merasa dirugikan..  Dan lagi-lagi, pihak yang merasa dirugikan harus mau bersikap pasrah, menerima, dan memaafkan... adilkah?

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline